PERANG DAN JIHAD
MENURUT PRESPEKTIF TAFSIR AT TAHRIR WAT TANWIR (IBNU ‘ASYUR)
Ja’far
Shodiq
Mahasiswa Ilmu Al-ur’an dan Tafsir ,
Semester VI, Fakultas Ushuluddin, Institute PTIQ Jakarta
Beberapa
tahun belakangan, bangsa Indonesia diramaikan berbagai aksi
teror yang melanda di berbagai kota. Mirisnya lagi, para teroris ini mengklaim
dalil-dalil agama untuk melegitimasi aksi-aksinya, sebagaimana kutipan
Al-Qur’an Surat Al-Hajj ayat 39-40. Di dalam media
sosial pendukung radikalisme dan terorisme, kita akan menyimak betapa
dalil-dalil agama bertebaran digunakan untuk membenarkan aksi-aksi teror itu.
Tentu penyalahgunaan dalil-dalil agama di luar konteksnya ini salah dan telah
terbukti membawa kerusakan yang sangat besar.
Fenomena
kesalahpahaman seperti itu, kini menjadi virus yang merongrong citra Islam
sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin. Selain itu, yang sangat memprihatinkan adalah model
pemahaman yang salah tersebut telah merasuki sebagian aktivis Islam di
Indonesia. Aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam
radikal, jihad bom bunuh diri dan sebagainya menjadi bukti yang tak
terbantahkan. Akibat kesalahpahaman ini, ketika seseorang mendengar istilah
jihad, dengan serta merta berasosiasi pada kekerasan dan pertumpahan darah.
1. Definisi
Perang
Carl Von Clausewith, seorang
filosof perang dari Jerman, dalam bukunya “On War” mengartikan perang
sebagai “suatu tindakan kekerasan yang dimaksudkan untuk memaksa lawan kita
guna memenuhi keinginan kita” (War is an act of violence intended to compel
our opponent to fulfil our will). “Perang adalah seperti duel akan tetapi
dalam skala yang luas” (War is like a duel, but on an
extensive scale). Dikatakan pula oleh Clausewith bahwa perang bukan
merupakan sesuatu yang berdiri sendiri. ”Perang adalah merupakan kelanjutan
politik dengan cara lain” (War is the continuation of policy by other
means). (http://www.science.uva.nl/~seop/entries/war/)
Dalam pandangan Agama Islam, Pengertian Perang ( qitâl) secara
bahasa adalah sebagai bentuk masdar dari kata qâtala-yuqâtἷlu tepatnya adalah
tsulasi mazid satu huruf bab fi'ill dari kata qatala yang memiliki tiga
pengertian: pertama, artinya adalah berkelahi melawan seseorang, kedua,
memusuhi (adâhu) dan ketiga, memerangi musuh (hârabahû al- adâ).[1]
Al-Qasimi mendefenisikan bahwa perang adalah melawan musuh Islam berarti
berjihad menghadapi mereka dengan tujuan dapat menghancurkan, menundukkan,
memaksa, atau melemahkan mereka.[2]
Pendek kata, perang adalah konflik bersenjata
yang nyata, disengaja dan luas yang terjadi di antara dua komunitas politik
atau lebih yang saling bermusuhan. Baku hantam di antara orang-orang yang
bersifat individual tidak dapat dikatakan sebagai perang, termasuk juga
perkelahian antar gang atau perseteruan antara warga yang berasal
dari suatu daerah tertentu dengan warga yang berasal dari daerah lain.
2.
Perbedaan
Pandangan Mengenai Ayat Perang
Praktik radikalisasi
agama bisa bermula dari teologi radikal. Mereka seolah menganulir penafsiran
ayat-ayat damai secara tidak utuh, sehingga berimplikasi dalam tindakan radikal
berkedok jihad yang secara langsung atau tidak, menjustifikasi secara keliru
kekerasan atas nama Al-Qur'an. Inilah yang dipakai organisasi-organisasi
Islamis seperti Jama’ah Islamiyah, Hizbut Tahrir dan
Wahhabiyah. Pemahaman mereka terhadap ayat-ayat
Al-Qur'an, seringkali mengabaikan latar belakang dan konteks munculnya ayat.
Pemahaman yang tekstual dan 'kaku' ini, serta menganggap bahwa penafsirannya
seolah menjadi satu-satunya "juru bicara" Tuhan, dijadikan pijakan
bagi sejumlah kelompok radikal, termasuk para teroris di Indonesia untuk
melakukan aksi-aksi kekerasan atas nama agama.
Kelompok mereka memasukkan makna
perang (qital) sebagai satu-satunya makna untuk mendefinisikan terma
jihad, seperti tidak ada ruang bagi aktivitas lainnya untuk dimasukkan dalam
arti jihad. Jihad sebagai sebuah puncak kemuliaan umat Islam, menjadi sangat
sederhana ditangan mereka, seperti sebuah fiqih ibadah yang tidak lagi memiliki
syarat sah, wajib, dan batasan-batasan yang berlaku di dalamnya. Imam Samudra
mencoba untuk meyakinkan betapa salahnya jika seorang ulama mendefinisikan
terma jihad dengan definisi lainnya lainnya, dan meyakinkan bahwa melawan, dan
membalas para agresor negeri-negeri Islam melalui perang fisik (qital)
diwilayah masing-masing merupakan sebuah kewajiban bagi setiap muslim. Bahkan
wajibnya sama dengan kewajiban shalat dan puasa. Dan bagi Imam Samudra tidak
akan bisa terma jihad dipalingkan dengan makna lainnya termasuk jihad bi
al-lisan yaitu dakwah didalamnya, Ia mengatakan: ‚Tanpa mengurangi rasa hormat,
tanpa berniat memandang rendah dengan siapapun yang berdakwah, taruhlah aku
berdakwah, kemudian dakwahku diterima oleh seluruh lapisan masyarakat yang
muslim atau yang kafir. Dimata salafushalih jelas dakwahku perlu
dipertanyakan. Karena aku telah menampilkan satu sisi Islam dan menyembunyikan
sisi yang lainnya.-maksud disini adalah jihad.[3]
Bagi Saidiman Ahmad, jihad dalam arti bukan
perang (qital) merupakan terminologi baku dan mendasar, bahkan lanjut
Saidiman jika jihad diartikan sebagai konsep perang suci maka hal tersebut
adalah konsep yang tidak pernah dilahirkan oleh Islam tapi dari konsep
kekristenan yang melakukan penaklukan-penaklukan atas dasar agama.[4]
Cendikiawan Islam lainnya Prof. Dr. M. Syafi’I Ma’arif juga mencoba untuk
meluruskan terminologi jihad dimana terma jihad jangan hanya difahami sebagai
sebuah bentuk kekerasan,
“Di antara kata yang
sering ditakuti, dibenci, disalahpahami, dan dibonsaikan maknanya adalah kata
jihad. Dalam literatur Barat umumnya, kata jihad diterjemahkan dengan Holy War
(Perang Suci). Padahal, perang hanyalah salah satu bentuk dari jihad. Dalam
Alquran, kata jihad dengan berbagai derivasinya terdapat 41 kali, baik dalam surat-surat yang diturunkan pada periode Makkah (Makiyah) maupun dalam surat-surat yang diturunkan pada periode Madinah (Madaniyah). Akar kata jihad adalah j-h-d menjadi jahd dan juhd (keletihan, kegentingan, ketegangan, kepedihan, kesulitan, upaya, kemampuan, kerja keras dan yang mirip dengan itu). Ayat jihad dalam arti perang (qital).Dan untuk konteks di Indonesia menurut Syafi’I doktrin jihad yang harus muncul adalah kesungguhan (jihad) untuk menciptakan sebuah tatanan sosio-politik yang egalitarian, adil, dan bermoral untuk semua golongan tanpa diskriminasi. Melawan musuh, sebagai salah satu maknanya, baru turun pada tahun kedua hijriyah yang kemudian digumulkan dengan realitas yang konkret pada perang Badar (624 M). Di sini, jihad dan qital (perang) menjadi sinonim.”[5]
Dan untuk konteks di Indonesia menurut Syafi’I doktrin jihad yang harus muncul adalah kesungguhan (jihad) untuk menciptakan sebuah tatanan sosio-politik yang egalitarian, adil, dan bermoral untuk semua golongan tanpa diskriminasi.
3.
Landasan
Ayat Perang Al-Qur’an Surat Al-Hajj Ayat 39-40
أُذِنَ
لِلَّذِينَ يُقَٰتَلُونَ بِأَنَّهُمۡ ظُلِمُواْۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ
نَصۡرِهِمۡ لَقَدِيرٌ ٣٩ ٱلَّذِينَ
أُخۡرِجُواْ مِن دِيَٰرِهِم بِغَيۡرِ حَقٍّ إِلَّآ أَن يَقُولُواْ رَبُّنَا
ٱللَّهُۗ وَلَوۡلَا دَفۡعُ ٱللَّهِ ٱلنَّاسَ بَعۡضَهُم بِبَعۡضٖ لَّهُدِّمَتۡ
صَوَٰمِعُ وَبِيَعٞ وَصَلَوَٰتٞ وَمَسَٰجِدُ يُذۡكَرُ فِيهَا ٱسۡمُ ٱللَّهِ
كَثِيرٗاۗ وَلَيَنصُرَنَّ ٱللَّهُ مَن يَنصُرُهُۥٓۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَقَوِيٌّ
عَزِيزٌ ٤٠
39. ) Diizinkan
(berperang) kepada orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka dizalimi.
Dan sung-guh, Allah Mahakuasa menolong mereka itu,
40. ) (yaitu) orang-orang
yang diusir dari kampung halamannya tanpa alasan yang benar, hanya karena
mereka berkata, “Tuhan kami ialah Allah.” Seandainya Allah tidak menolak
(keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan
biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan
masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti akan
menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sungguh, Allah Mahakuat, Mahaperkasa.[6]
4.
Pendapat Ibnu ‘Asyur Mengenai Al-Qur’an
Surat Al-Hajj Ayat 39-40
Pada masa awal perkembangan Islam, umat Islam
dilarang untuk memerangi orang-orang kafir dan diperintahkan untuk bersabar
menghadapi gangguan mereka. Kemudian ketika gangguan kaum msuyrikin telah
mencapai puncaknya, sementara Nabi telah keluar berhijrah dari Makkah menuju
Madinah, kemudian Islam memiliki kekuatan, Allah mengizinkan kuaum muslimin
untuk maju berperang, karena apa yang mereka alami berupa penindasan dan
permusuhan. Sesungguhnya Allah Mahakuasa untuk menolong mereka dan menghinakan
musuh-musuh mereka.[7]
Ibn ‘Asur memberikan keterangan, suatu saat para
sahabat Nabi yang teraniaya datang menemui beliau. Kemudian Rasul memberikan
nasehat kepada mereka untuk bersabar menghadapi penganiyaan orang-orang musyrik
karena Rasulullah belum mendapat perintah untuk melakukan peperangan dengan
orang musyrik. Kemudian setelah hijrah setelah ba’at al-‘Aqabah turun ayat ini
yang memberikan izin untuk melakukan peperangan dengan orang-orang musyrik
Makkah. Izin perang ini merupakan balasan atas perilaku orang-orang musyrik
Makkah yang telah mengusir orang-orang muslim dari tanah kelahirannya. Hal ini sebagaimana yang termaktub dalam firman-Nya al-ladhina ukhriju min diya rihim bi ghayri haq.[8]
Berdasarkan analisis Ibn ‘Asyur merupakan badal
dari penggalan ayat alladhina yuqatiluna., sebenarnya tujuan
dari peperangan adalah menghilangkan penganiayaan. Dan penganiayaan yang paling
besar adalah tindakan orang kafir Makkah mengusir orang mukmin dari tempat
tinggal mereka. Karena pada prinsipnya seseorang memiliki hak mutlak atau dalam
bahasa ‘Asur disebut dengan al-haq al-thabit bi al-fitrah untuk
bertempat tinggal, berkembang dan bersosialisasi dengan masyarakat di tanah
kelahirannya.[9]
Ayat-ayat yang telah lalu menjelaskan tentang
izin melakukan perang dalam rangka membela diri dan menghapus penganiayaan.
Pada ayat empat puluh satu ini Allah menjelaskan sebagian dari penganiayaan
yang diderita oleh kaum muslimin dan pentingnya melakukan pembelaan. Ibn ‘Ashur
mengemukakan dua kemungkinan makna. Yang pertama adalah seandainya tidak ada pembelaan
manusia terhadap tempat-tempat ibadah kaum muslimin, niscaya kaum musyrikin
akan melampaui batas sehingga melakukan agresi juga terhadap negeri-negeri
tetangga mereka yang penduduknya menganut agama selain agama Islam yang juga
bertentang dengan kepercayaan kaum musyrikin. Sehingga mereka kaum musyrik juga
akan merobohkan biara-biara, gereja-gereja dan sinagoge-sinagoge serta
masjid-masjid dalam upaya mennghancurkan ajaran tauhid dan ajaran-ajaran yang
bertentangan dengan kemusyrikan.
Kemungkinan kedua, menurut Ibn ‘Ashur ayat di
atas dapat di tafsirkan dengan seandainya Allah tidak mengizinkan bagi penganut
tauhid sejak sebelum datangnya Nabi Muhammad
saw untuk memerangi kemusyrikan, seperti halnya Nabi Daud memerangi Jalut dan
Nabi Sulaiman mengalahkan Ratu Saba’ maka pasti kaum musyrikan akan memusnahkan
ajaran tauhid, sebagaimana Nabukadnazar menghajurkan Haikal Sulaiman.
At-Tabataba’i mengemukakan bahwa meskipun ayat di atas turun berkenaan dengan
sebab disyariatkan peperangan dan bertujuan memelihara masyarakat agamis dan
agresi musuhmusuh agama yang berupa pemadaman nur illahi dan memusnahkan
tempattempat peribadatan sehingga sirna rasa keagamaan. Ayat ini tidak terbatas
pada konteks perang saja, ayat ini juga berlaku luas mencakup semua upaya pembelaan
terhadap kemanfaatan manusia serta kemaslahatan hidupnya. Pembelaan ini
merupakan sunnah fitrah, sesuatu yang tertancap dalam jiwa manusia dan yang
bersumber dari Allah swt.[10]
5. Kontekstualisasi
Makna Jihad
Perlu dilakukan pemahaman
kembali konsep jihad agar dapat dikontekstualisasikan dengan realitas problem
umat Islam saat ini. Berpijak dari sini, makna jihad harusnya ditujukan pada
usaha-usaha memberantas kemiskinan dan kebodohan yang mendera umat Islam masa
kini. Secara normatif, dua istilah yang ada dalam al-Qur’an jihad dan qital
dibedakan secara jelas dan tegas. Jihad tidak identik dengan qital,
meskipun qital pada zaman Nabi merupakan salah satu bentuk dari jihad.
Jihad merupakan prinsip yang abadi dalam arti dan bentuk yang umum dan seluas-luasnya,
sedangkan perang hanyalah wasilah (perantara) yang mestinya diterapkan menurut
pertimbangan situasi tertentu.
Jihad yang
disalahpahami hanya dalam pengertian berperang tentu saja justru menyempitkan
arti jihad itu sendiri. Perlu diingat bahwa ada jihad yang lebih besar daripada
peperangan sebagaimana sabda Rasulullah saw ketika beliau kembali dari medan
pertempuran ―raja’na min al-jihad al-ashghar ila al-jihad al-akbar; jihad
alnafs” (kita kembali dari jihad terkecil menuju jihad terbesar, yakni
jihad melawan hawa nafsu). Dalam konteks keindonesiaan konsep jihad perlu
diaktualisasikan maknanya dalam pengertian yang luas ini. Masih terlalu banyak
persoalan-persoalan bangsa yang membutuhkan semangat ―jihad dalam pengertian ―badzlul
juhdi fi jalb almashalih dan dar’u al-mafasid” (mengerahkan segenap
kemampuan untuk mendapatkan kemashlahatan dan menghindari kerusakan). Mulai
dari persoalan peningkatan kualitas pendidikan, persoalan pengentasan
kemiskinan, pemberantasan korupsi, penegakan hukum, peneguhan sendi-sendi moral
bangsa dan sebagainya merupakan medan jihad kemanusiaan yang menunggu peran
kita semua.
Daftar Bacaan
Shihab,
Qurays. Tafsir
al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
Jakarta:
Lentera Hati, 2007.
Ibn ‘Ashur, Tahir. Tafsir
al-Tahrir wa al-Tanwir, Vol. XVII, Tunis: al-Dar al-Tunisiyah, 1984.
Zuhayli, Wahbah. al-Tafsir
al-Munir fi al-‘aqidah wa al-shari’ah wa al-Manh, al-Tafsir al-Munir, Vol. 17,
Damaskus: Dar al-Fikr,2003.
Tim Dosen Tafsir, al-Tafsir
Muyassar (Saudi Arabia: Majma’ al-Mulk Fahd li al-Taba’ah al-Mushaf
al-Sharif, 2009.
Syafii, Maarif. 2006, Meluruskan
Makna Jihad [online], http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A495_0_3_0_M,
Html 13 Juni 2011.
Saidiman, Ahmad, 2011,
Koran Tempo [online], http://islamlib.com/id/artikel/terorisme-versus-islam,
Html 13 Juni 2011.
Manzur, Ibn.
Lisân
al- Arab,
Jilid. V. Qâhirah:Dâr al-Ma‟ârif,
t.t.
Al-Qasimi, Mahasin
at-Ta’wil,
Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1418.
Tarmudzi Basyir, Ahmad,
Hepi
Andi Bustomi, Mengoreksi Jihad Global Imam Samudra, Jakarta: Hasa Press,
2009.
[1] Ibn Manzur, Lisân al- Arab, (Qâhirah:Dâr al-Ma‟ârif, t.t.),
Jilid. V, h.3531.
[2] Al-Qasimi, Mahasin at-Ta’wil
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1418), Juz. II, h.99.
[3] Ahmad Tarmudzi Basyir, Hepi Andi Bustomi, Mengoreksi Jihad Global
Imam Samudra, (Jakarta: Hasa Press, 2009), h.65-66.
[4] Ahmad, Saidiman, 2011, Koran Tempo [online],
http://islamlib.com/id/artikel/terorisme-versus-islam, Html 13 Juni 2011
[5] Maarif, Syafii, 2006, Meluruskan Makna Jihad [online],
http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A495_0_3_0_M, Html 13 Juni 2011.
[6] Al-Quran Kemenag
[7] Tim Dosen Tafsir, al-Tafsir Muyassar (Saudi Arabia: Majma’
al-Mulk Fahd li al-Taba’ah al-Mushaf al-Sharif, 2009), h. 337.
[8] Wahbah Zuhayli, al-Tafsir al-Munir fi al-‘aqidah wa al-shari’ah wa
al-Manh, al-Tafsir al-Munir, Vol. 17, (Damaskus: Dar al-Fikr,2003), h. 273.
[9] Tahir ibn ‘Ashur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Vol. XVII,
(Tunis: al-Dar al-Tunisiyah, 1984),
h. 274.
[10] Qurays Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h.225.
Komentar
Posting Komentar