MAKALAH TAFSIR FIQIH
Disusun Untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah:
Madzhab Tafsir
Dosen Pengampu:
Abdul Kholiq, MA.
DISUSUN OLEH:
Ja’far Shodiq
Mubarok Al yamamah
FAKULTAS USHULUDDIN
PROGAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QUR’AN (PTIQ) JAKARTA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tafsir sebagai usaha untuk memahami
dan menerangkan maksud dan kandungan ayat-ayat suci mengalami perkembangan yang
cukup bervariasi. Katakan saja, corak penafsiran al-Qur’an adalah hal yang tak
dapat dihindari. Spesialisasi yang menjadi basis intelektual mufassir sangat
mendominasi di abad pertengahan karena keanekaragaman corak penafsiran sejalan
dengan disiplin ilmu pengetahuan yang berkembang pada saat itu. Ini terjadi
karena minat para mufassir pada saat itu berpusat pada
kepentingannya. Di sisi lain, ilmu yang berkembang pada abad pertengahan
bersentuhan dengan ilmu fikih, ilmu kalam, ilmu tasawuf, ilmu bahasa dan sastra,
serta filsafat.
Karena minat keilmuan ulama itu
berbeda-beda dan cenderung pada disiplin ilmu tertentu yang digunakan dalam
memahami al-Qur’an, bahkan beberapa diantaranya sengaja mencari dasar yang
melegitimasi teori-teorinya dari al-Qur’an. Lalu muncullah berbagai tafsir
seperti tafsir fiqhi, tafsir t’tiqadi, tafsir sufi, tafsir ‘ilmi,
tafsir dan tafsir falsafah. Bahkan sekarang ini masih
berkembang seperti tafsir feminis atau jender, hermeunetika dan lain
sebagainya.[1]
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian tafsir fiqhi?
2. Bagaimana sejarah perkembangan tafsir
fiqhi?
3. Bagaimana karakteristik tafsir fiqhi?
4. Apa saja karya tafsir fiqhi?
5. Apa contoh tafsir fiqhi?
C. Tujuan
1.
Mengetahui pengertian tafsir fiqhi
2.
Mengetahui sejarah perkembangan tafsir fiqhi
3.
Mengetahui karakteristik tafsir fiqhi
4.
Mengetahui karya tafsir fiqhi
5.
Mengetahui contoh tafsir fiqhi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir Fiqh
Tafsir adalah ilmu yang digunakan
untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, untuk
mengetahui penjelasan makna-makannya serta hukum-hukum dan hikmah yang
terkandung di dalamnya.[2]
Tafsir Fiqhi
adalah corak tafsir yang lebih mengarah kepada pembahasan masalah-masalah
fiqhiyyah dan cabang-cabangnya serta membahas perdebatan/perbedaan pendapat
seputar pendapat-pendapat imam madzhab. Tafsir fiqhi ini juga dikenal dengan tafsir
Ahkam, yaitu tafsir yang lebih berorientasi kepada ayat-ayat hukum dalam
al-Qur,an (ayat-ayat ahkam). Tafsir fiqhi lebih populer dengan sebutan tafsir
ayat ahkam atau tafsir ahkam karena lebih berorientasi pada ayat-ayat hukum
dalam alqur’an.[3]
B. Sejarah Perkembangan Tafsir Fiqhi
Perkembangan tafsir fiqhi sebagai
model penafsiran al-Qur’an secara praktis juga harus melacak sejarah fiqhi
dalam islam. sebab fiqhi juga merupakan hasil atau produk penafsiran, sebab
kajian fiqhi tidak lepas dari sumber nash al-Qur’an. Tentunya sejak al-Qur’an
diturunkan sebagai sumber hukum dan dijadikan rujukan umat islam, praktis pula
munculnya tafsir fiqhi. Karena itu perkembangan tafsir fiqhi tidak lepas dari
perkembangan fiqhi sejak rasul hingga munculnya berbagai madzhab-madzhab fiqhi.
Dengan demikian untuk melacak sejarah
pekembangan tafsir fiqhi penulis menggunakan pemetaan secara prioderisasi yang
dikemukakan oleh adzDzahaby tentang dinamikan perkembangan tafsir fiqhi.
Sebagai mana berikut
1. Pada Masa Nabi Hingga Terbentuknya
Madzhab-Madzhab Fiqhi Islam.
Posisi nabi dan juga sebagai rasul (utusan) mengemban untuk
mensyiarkan islam dibekali dengan seperangkat aturan hukum, merupakan petunjuk
Allah kepada manusia yang tertuangkan dalam ayat-ayat al-Qur’an. Bagian dari
tugas kerasulan nabi pada primordialisme turut menjelaskan makna al-Qur’an,
karena nabi memiliki otoritas terhadap segala bentuk pemahaman dan pemaknaan
al-Qur’an demikian juga. Akan tetapi ada sahabat yang diberikan otoritas untuk
memahi al-Qur’an dengan ijtihadnya seperti Muadz bin Jabal yang pada waktu itu mensyiarkan islam di Yaman[4]
karena jarak yang kurang memungkinkan untuk bertanya langsung pada nabi.
Proses dialektis sahabat dengan tentang hukum islam saat itu
berakhir pasca wafatnya nabi, akan tetapi penjelasan-penjelasan nabi dijadikan
sumber kedua setelah al-Qur’an itu sendiri. Wilayah umat islam yang semakin
luas, bersamaan pula Porsoal-persoalan baru banyak bermunculan terutama yang
berkaitan dengan hukum. Sehingga hal ini menjadi sangat komplek dan memerlukan
usaha yang lebih keras untuk mencari penjelasan hukum, pada saat itu ijtihad
menjadi epistemologi alternatif untuk memahami dan mencari kejelasan hukum
dalam al-Qur’an.
Perbedaan pemahaman sahabat terhadap ayat-ayat hukum dalam al Qur’an
adalah buah dari hasil ijtihad. Seperti perbedaan pemahaman sahabat Umar dan
Ali tentang masalah masa I’ddah bagi perempuan hamil yang ditinggal mati
suaminya, Umar berpendapat bahwa masa I’ddahnya hanya samapi melahirkan
sedangkan menurut Ali selain melahirkan juga menunggu hingga empat bulan
sepuluh hari.[5]
Perbedaan pemahaman sahabat tentunya berdasarkan pada dalil-dalil nash
al-Qur’an dan hadis hanya saja ruang ijtihad sahabat diperlukan kala menemukan
persoalan yang tidak menemukan penjelasan dalam nash.
2. Masa Awal Berdirinya Madzhab Fiqhi
Perbedaan adalah rahmat bagi seluruh alam, tentunya jargon tersebut
dikonotasikan pada hal-hal yang positif. Pada awal berdirinya madzhabmadzhab fiqhi
seperti Syafi’i, Hanafi, Hambali, Maliki dan lainnya perbedaan pemahaman
masalah hukum tertentu dan memiliki kesamaan pemahaman pada hukum lainya.[6]
Tentunya perbedaan pemahaman semakin banyak dan luas dalam berbagai persoalan
pada ruang waktu yang mengalamai perubahan dinamis.
Akan tetapi pada masa ini sejauh perbedaan pemahaman terhadap
alQur’an antar fuqaha’ (ahli fiqhi), tetap saling menghormati dan menghargai
pendapat yang berbeda. Sebab masalah hukum fiqhi yang sifatnya amali tidak
dapat digeneralisir dalam satu kasus, melainkan harus dilakukakan penelitian
terhadap berbagai kasus. Sehingga eksistensi tafsir fiqhi pada masa ini murni
pada perbedaan pemahaman terhadap al-Qur’an hingga bermunculan beragam madzhab.
3. Masa Tumbuhnya Taklid dan Fanatisme
Madzhab.
Setelah masa melalui masa
imam-imam madzhab, munculnya ruh taklid dan fanatisme madzhab justru tumbuh
dengan suburnya. Kondisi ini terus berlangsung hingga mencapai titik kulminasi.[7] Taklid
pada dasarnya merupakan suatu hal yang lumrah, akan tetapi taklid dalam urusan
agama menjadi indikasi matinya suatu dialektika kajian keagamaan. Sedangkan bentuk
fanatisme terhadap madzhab menjadi implikasi dari taklid dan diperkuat juga dengan kehadiran
madzhab-madzhab yang berbau politis, jelas tidak akan menemukan kesamaan dalam
sebuah penafsiran seperti halnya syi’ah dan khawarij.
Pertumbuhan taklid dan fanatisme madzhab masa ini bermacam-macam,
ada yang mengkaji ucapan imam madzhabnya sebagaiman mereka mengkaji al-Qur’an,
ada yang mengeluarkan daya kemampuan untuk mendukung imam madzhabnya dan bahkan
berusaha untuk membatalkan pendapat madzhabmadzhab lain sebagai bentuk dari
fanatisme madzhab yang membabi buta.[8]
C.
Karakteristik Tafsir Fiqhi
Dilihat dari
pengertian dari tafsir fiqih dan contoh-contohnya, kita dapat ketahui bahwa
karakteristik dari tafsir ini adalah mengedepankan penafsiran ayat-ayat
al-Qur`an yang berkaitan dengan hukum fiqih (ayat al-ahkam), dan tidak
jarang mengemukakan perbedaan pendapat para ulama fiqih. Corak tafsir ini lebih
sering menggunakan metode tafsir maudhu’i karena terkadang mufasir hanya
mengambil tema-tema tertentu yang berkaitan dengan fiqih.
D.
Macam-macam Karya Tafsir Fiqhi
Kategorisasi ragam tafsir fiqhi
sebenarnya sulit untuk dilakukan, sebab membutuhkan
parameter tertentu dalam setiap kategorisasinya. Akan tetapi kajian terhadap
kitab tafsir fiqhi menjadi pintu utama untuk melakukan pengkategorisasian
tafsir fiqhi dan relevasinya terhadap madzhab-madzhab fiqhi. Sehingga telaah
terhadap epistemologi tafsir fiqhi dapat dikaji melalui kajian
tafsir dengan produk.[9] Sebagaimana
pengekategorisasian yang dilakukan oleh adz-Dzahaby[10],
sebagaimana berikut.
1.
Tafsir fiqhi madzhab Syi’ah Imamiyah Isna A’syariah antara lain:
a) Ayat al-Ahkam oleh Muhammad ibn Sa’id al-Kalbi (Wafat 146H).
b) Tafsir al-Khamsimi’at oleh Muqatil ibn Sulaiman al-Khurasani alBalkhi (W 15 H/)
c) Tafsir Ayat al-Ahkam oleh Hisyam Ibnu Muhammad Ibn Sa’ib al-Kalbi al-Khufi (W 206 H)
d)
Ahkam al-Ahkam oleh ‘Abad Ibn
Abbas al-Thaqilani
e)
Syarh Ayat al-Ahkam oleh Ismail
ibn A’bad
f)
Al Ibanah ‘an Ma’ani al-Qira’at oleh Makki ibn Abi Thalib al-Qaysi (473
H/1045 M)
g) Fiqh al-Qur’an fi Ayat al-Ahkam oleh Quthb al-Din al-Rawandi
h) Tafsir al-Ayat al-Ahkam oleh Muhammad ibn Husein al-Baihaqi alHisyaburi (576 H)
i)
Al-Nihayah fi Tafsir al-Khamsami’at al-Ahkam oleh Ahmad ibn ‘Abdullah Mutawwaj al-Bahraini (771
H)
j)
Kanz al-Irfan fi al-Fiqh al-Qur’an oleh Fadhil Niqbad ibn A’bdullah alSuyuri al-Asadi al-Hilli (826
H). dan masih banyak lagi nama-nama lainya
2.
Tafsir Fiqhi Madzhab Syi’ah Zaidiyah anatara lain:
a)
Syarh Ayat al-Ahkam oleh Yahya ibn
Hamzah al-Yamani (749 H)
b)
Ayat al-Ahkam oleh Ahmad ibn
Yahya al-Yamani
c)
Syarh Ayat al-Ahkam oleh Muhammad
ibn Yahya Sha’di al-Yamani
d)
Ayat al-Ahkam oleh Husain
al-Amri al-Yamani (1380)
e)
Syarh Ayat ahkam oleh Yahya ibn
Muhammad al-Hasani
f)
Syarah al-Khamsami’at
Ayat oleh Yahya Ibn Muhammad al-Najry
g)
Al-Tsamarat al-Yani’ah wa al-Ahkam al-Wadhihah al-Qhati’ah, oleh Syamsuddin ibn Yusuf abn Ahmad.
h)
Muntahana al-Maram, oleh Muhammad
ibn Husain Ibn Qasim
3.
Tafsir Madzhab Hanafi antara lain:
a)
al-Qur’an, Oleh Ali ibn Hajar Sa’di al-Azdi al-Thahawisani (Wafat
244 H)
b)
Ayat al-Ahakam oleh Ali ibn
Musa (350 H)
c)
Ahkam al-Qur’an, Oleh Ahmad
ibn Muhammad al-Azdi al-Thahawi alMisri (370 H)
d)
Syahr Ahkam Al-Qur’an, oleh
Ahmad ibn Muhammad al-Razi alJashshash (370 H)
e)
Mukhtashar Ahkam al-Qur’an Oleh Makki ibn Abi Thalib al-Qaysi alQayrwani (437 H)
f)
Anwar al-Qur’an fi Ahkam al-Qur’an oleh Muhammad Kafi ibn Hasan
g)
al-Basandi al-Iqhishari
(1025 H)
h)
Anwar al-Qur’an fi Ahkam al-Qur’an Oleh Muhammad Syams al-Din
i)
al-Harawi al-Bukhari (1119)
j)
Ahkam al-Qur’an Oleh Ismail
Haqqi (1127 H)
4.
Tafsir Fiqhi Madzhab Maliki antara lain:
a)
Ahkam al-Qur’an oleh Ahmad ibn
Mudhal (240 H)
b)
Ahkam al-Qur’an oleh Muhammad
ibn Abdullah (Ibn Hakam) (268 H)
c)
Ayat Ahkam oleh Ismail
ibn Ishaq al-Azdi (282 H)
d)
Al-Jami’ lil Ahkamil Qur’an oleh
al-Qhasim ibn Ashbag al-Qurthuby al-Andalusy (304H)
e)
Ahkam al-Qur’an oleh Muhammad
Tamimi (305)
f)
Ahkam al-Qur’an oleh Musa ibn
al-Abdur Rahman (306)
5.
Tafsir Fiqhi Madzhab Syafi’I antara lain:
a)
Ahkam al-Qur’an oleh Al-Kiya
al-Haras (Abab 6 H)
b)
Al-Qaul al-Wajiz fi Ahkam al-Kitab al-Aziz oleh Syihabuddin al-Halabi
c)
Ahkam al-Kitab al-Mubin
oleh Abdullah Mahmud al-Syanfaki (abad 9 H)
d)
Iklil fi Istinbath al-Tanzil oleh Jalaluddin al-Syuyuthy (abad 10 H)
e)
Ahkam al-Qur’an oleh Muhammad
ibn Idris al-Syafi’I (204 H)
f)
Ahkam al-Qur’an Oleh Ibrahim
ibn Khalid (Abu Tur al-Kalbi)
6.
Tafsir Fiqhi Madzhab Hanbali antara lain:
a) Ayat al-Ahkma oleh Qhadi Abu Ya’la al-Kabir (458 H)
b)
Ayat al-Ahkam oleh Abu Bakar al-Dimasyqi al-Razi
(751)
7.
Tafsir Fiqhi Madzhab Zahiri antara lain :
a) Ahkam al-Qur’an oleh Dawud ibn Ali al-Dhahiry al-Isfani
b)
Ahkam al-Qur’an oleh Abdullah ibn Ahmad (Ibn al-Muflis)[11]
E.
Contoh Penafsiran Corak Fiqhi
Al-Jami’ lil Ahkamil Qur’an adalah karya Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh
Al-Anshari Al-Khazraji Al-Andalusi seorang alim yang mumpuni dari kalangan
Maliki. Di dalam tafsirnya ini, al-Qurtubi tidak membatasi kajianya pada
ayat-ayat hukum semata, tetapi menafsirkan al-Qur’an secara menyeluruh. Metode tafsir
yang digunakan ialah menyebutkan asbabun nuzul (sebab-sebab
turunya ayat), mengemukakan ragam qira’at dan i’rab, menjelaskan lafazh-lafazh
yang gharib, menghubungkan berbagai pendapat kepada sumbernya,
menyediakan paragraph khusus bagi kisah para mufassir dan berita-berita dari
para ahli sejarah, mengutip dari para ulama terdahulu yang dapat dipercaya,
khususnya penulis kitab hukum. Misalnya, ia mengutip dari ibnu Jarir
Ath-Thabari, Ibnu ‘Athiyah, Ibnu Arabi, Alkiya Harrasi dan Abu Bakr Al-Jashash.
Al-Qurtubi
sangat luas dalam mengkaji ayat-ayat hukum. Ia mengetengahkan masalah-masalah
khilafiyah, hujjah bagi setiap pendapat lalu mengomentarinya. Dia tidak fanatik
madzhab. Contohnya saat menafsirkan firman Allah,
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa dengan istri-istri
kamu” (Al-Baqarah:187)
Dalam masalah
kedua belas dari masalah yang terkandung dalam ayat ini, sesudah mengemukakan
perbedaan pendapat para ulama mengenai hukum orang yang akan makan siang hari
di bulan Ramadhan karena lupa dan mengutip pendapat Imam Malik, yang mengatakan
batal dan wajib mengqadha. Ia mengatakan, “Menurut pendapat selain Imam
Malik, tidaklah dipandang batal setiap orang yang makan karena lupa akan puasanya,
dan jumhur pun berpendapt sama bahwa barang siapa makan atau minum karena lupa,
ia tidak wajib mengqadhanya. Dan puasanya tetap sempurna. Hal ini
berdasarkan pada hadits Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Jika seseorang
sedang berpuasa lalu makan atau minum karena lupa, maka yang demikian adalah
rezeki yang diberikan Allah kepadanya, dan ia tidak wajib mengqadhanya,”.
Al-Qurtubi juga
melakukan konfrontasi terhadap sejumlah golongan lain. Misalnya, ia menyanggah
kaum Mu’tazilah, Qadariyah, Syi’ah Rafidhah, para filosof dan kaum sufi yang
ekstrim. Tetapi dilakukan dengan bahasa yang halus. Dan didorong oleh rasa
keadilan, kadang-kadang ia pun membela orang-orang yang di serang oleh Ibn
al-‘Arabi dan mencelanya karena ungkapan-ungkapannya yang kasar dan keras
terhadap ulama. Kritikannya pun bersih serta dilakukan dengan cara sopan dan
terhormat.[12]
BAB III
KESIMPULAN
Tafsir fiqhi merupakan kombinasi
metode dan pendekatan dalam memahami makna ayat-ayat al-Qur’an. Munculnya
tafsir fiqhi ini karena adanya kurang pahamnya memahami al-Qur’an. Dahulu pada
zaman Rasulullah SAW memahami al-Qur`an dengan “naluri” kearaban mereka. Dan
jika terjadi kesulitan dalam memahami sesuatu ayat, mereka langsung menanyakannya
kepada Rasulullah saw dan beliau pun lalu menjelaskannya kepada mereka. Setelah
Rasulullah saw wafat dan permasalahan-permasalahan baru mulai muncul, maka
mereka beristimbat dengan al-Qur`an untuk menetapkan hukum-hukum syara’ bagi
permasalahan baru tersebut.
Corak tafsir ini lebih sering
menggunakan metode tafsir maudhu’I, bahwa karakteristik dari tafsir ini
adalah mengedepankan penafsiran ayat-ayat al-Qur`an yang berkaitan dengan hukum
fiqih (ayat al-ahkam).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaththan,
Manna Kahlil. Studi Ilmu-ilmu Qur’an
(Pustaka Listera AntarNusa: Bogor, 2011).
Ridho, Muhammad. Tafsir dan Dinamika Sosial, (Yogyakarta: Teras, 2010).
Mustaqim, Abdul. Epistemologi
Tafsir Kontemprer, (Yogyakarta:
LkiS,
2009)
Adz-Dzahaby, Muhammad Husein. at-Tafsir wa al-Mufassirun, (Beirut: Dar Fikr, 1998).
Khalaf , Abdul Wahhab. llmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Majlis al-A’la wa
al-Indunisai adDakwah islamiyah, 1972).
Izzan, Ahmad. Metodologi Ilmu Tafsir,
cetakan ketiga. (Bandung:
Tafakur, 2011).
Ash-Shabuni, Muhammad
Ali At-tibyan fi ‘Ulum al-Qur`an, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2003)
Suma, Muhammad Amin. Studi Ilmu-ilmu
al-Qur’an, Jilid 2 (Jakarta, Pustaka Firdaus, 2001).
[1] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu
Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2011), cetakan ketiga, hal. 199-200.
[2] Muhammad Ali
ash-Shabuni, At-tibyan fi ‘Ulum al-Qur`an, (Jakarta: Dar al-Kutub
al-Islamiyyah, 2003), hlm. 65.
[3] Muhammad Amin Suma, Studi
Ilmu-ilmu al-Qur’an, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 2001), Jilid 2 hlm. 139.
[4] Abdul Wahhab
Khalaf , llmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Majlis al-A’la wa al-Indunisai
adDakwah islamiyah, 1972), hlm.
29.
[5] Muhammad Husein
Adz-Dzahaby, at-Tafsir wa al-Mufassirun, (Beirut: Dar Fikr 1998), Hlm. 319.
[6] Muhammad Husein
Adz-Dzahaby, at-Tafsir wa al-Mufassirun, (Beirut: Dar Fikr 1998), Hlm. 320.
[7] Muhammad Ridho,
Tafsir dan Dinamika Sosial, (Yogyakarta: Teras 2010), hal. 57
[8] Muhammad Husein
Adz-Dzahaby, at-Tafsir wa al-Mufassirun, (Beirut: Dar Fikr 1998), Hlm. 321.
[9] Abdul Mustaqim,
Epistemologi Tafsir Kontemprer, (Yogyakarta: LkiS 2009), 24
[10] Muhammad Husein
Adz-Dzahaby, at-Tafsir wa al-Mufassirun, (Beirut: Dar Fikr 1998), Hlm. 323-341.
[11] Muhammad Ridho,
Tafsir dan Dinamika Sosial, (Yogyakarta: Teras 2010), hal. 60.
[12] Manna Kahlil
al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Pustaka Listera AntarNusa: Bogor,
2011), hlm. 520-521.
Komentar
Posting Komentar