Langsung ke konten utama

MAKALAH TAFSIR FIQIH



MAKALAH TAFSIR FIQIH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah:
Madzhab Tafsir
Dosen Pengampu:
Abdul Kholiq, MA.


DISUSUN OLEH:
Ja’far Shodiq
Mubarok Al yamamah

FAKULTAS USHULUDDIN
PROGAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QUR’AN (PTIQ) JAKARTA
TAHUN AKADEMIK 2019-2020

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Tafsir sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan maksud dan kandungan ayat-ayat suci mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Katakan saja, corak penafsiran al-Qur’an adalah hal yang tak dapat dihindari. Spesialisasi yang menjadi basis intelektual mufassir sangat mendominasi di abad pertengahan karena keanekaragaman corak penafsiran sejalan dengan disiplin ilmu pengetahuan yang berkembang pada saat itu. Ini terjadi karena minat para mufassir pada saat itu berpusat pada kepentingannya. Di sisi lain, ilmu yang berkembang pada abad pertengahan bersentuhan dengan ilmu fikih, ilmu kalam, ilmu tasawuf, ilmu bahasa dan sastra, serta filsafat.
Karena minat keilmuan ulama itu berbeda-beda dan cenderung pada disiplin ilmu tertentu yang digunakan dalam memahami al-Qur’an, bahkan beberapa diantaranya sengaja mencari dasar yang melegitimasi teori-teorinya dari al-Qur’an. Lalu muncullah berbagai tafsir seperti tafsir fiqhi, tafsir t’tiqadi, tafsir sufi, tafsir ‘ilmi, tafsir dan tafsir falsafah. Bahkan sekarang ini masih berkembang seperti tafsir feminis atau jender, hermeunetika dan lain sebagainya.[1]
B.     Rumusan Masalah
1. Apa pengertian tafsir fiqhi?
2. Bagaimana sejarah perkembangan tafsir fiqhi?
3. Bagaimana  karakteristik tafsir fiqhi?
4. Apa saja karya tafsir fiqhi?
5. Apa contoh tafsir fiqhi?
C.    Tujuan
1.      Mengetahui pengertian tafsir fiqhi
2.      Mengetahui sejarah perkembangan tafsir fiqhi
3.      Mengetahui karakteristik tafsir fiqhi
4.      Mengetahui karya tafsir fiqhi
5.      Mengetahui contoh tafsir fiqhi

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tafsir Fiqh
Tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, untuk mengetahui penjelasan makna-makannya serta hukum-hukum dan hikmah yang terkandung di dalamnya.[2]
Tafsir Fiqhi adalah corak tafsir yang lebih mengarah kepada pembahasan masalah-masalah fiqhiyyah dan cabang-cabangnya serta membahas perdebatan/perbedaan pendapat seputar pendapat-pendapat imam madzhab. Tafsir fiqhi ini juga dikenal dengan tafsir Ahkam, yaitu tafsir yang lebih berorientasi kepada ayat-ayat hukum dalam al-Qur,an (ayat-ayat ahkam). Tafsir fiqhi lebih populer dengan sebutan tafsir ayat ahkam atau tafsir ahkam karena lebih berorientasi pada ayat-ayat hukum dalam alqur’an.[3]
B.     Sejarah Perkembangan Tafsir Fiqhi
Perkembangan tafsir fiqhi sebagai model penafsiran al-Qur’an secara praktis juga harus melacak sejarah fiqhi dalam islam. sebab fiqhi juga merupakan hasil atau produk penafsiran, sebab kajian fiqhi tidak lepas dari sumber nash al-Qur’an. Tentunya sejak al-Qur’an diturunkan sebagai sumber hukum dan dijadikan rujukan umat islam, praktis pula munculnya tafsir fiqhi. Karena itu perkembangan tafsir fiqhi tidak lepas dari perkembangan fiqhi sejak rasul hingga munculnya berbagai madzhab-madzhab fiqhi.
Dengan demikian untuk melacak sejarah pekembangan tafsir fiqhi penulis menggunakan pemetaan secara prioderisasi yang dikemukakan oleh adzDzahaby tentang dinamikan perkembangan tafsir fiqhi. Sebagai mana berikut
1.      Pada Masa Nabi Hingga Terbentuknya Madzhab-Madzhab Fiqhi Islam.
Posisi nabi dan juga sebagai rasul (utusan) mengemban untuk mensyiarkan islam dibekali dengan seperangkat aturan hukum, merupakan petunjuk Allah kepada manusia yang tertuangkan dalam ayat-ayat al-Qur’an. Bagian dari tugas kerasulan nabi pada primordialisme turut menjelaskan makna al-Qur’an, karena nabi memiliki otoritas terhadap segala bentuk pemahaman dan pemaknaan al-Qur’an demikian juga. Akan tetapi ada sahabat yang diberikan otoritas untuk memahi al-Qur’an dengan ijtihadnya seperti Muadz bin Jabal yang pada waktu itu mensyiarkan islam di Yaman[4] karena jarak yang kurang memungkinkan untuk bertanya langsung pada nabi.
Proses dialektis sahabat dengan tentang hukum islam saat itu berakhir pasca wafatnya nabi, akan tetapi penjelasan-penjelasan nabi dijadikan sumber kedua setelah al-Qur’an itu sendiri. Wilayah umat islam yang semakin luas, bersamaan pula Porsoal-persoalan baru banyak bermunculan terutama yang berkaitan dengan hukum. Sehingga hal ini menjadi sangat komplek dan memerlukan usaha yang lebih keras untuk mencari penjelasan hukum, pada saat itu ijtihad menjadi epistemologi alternatif untuk memahami dan mencari kejelasan hukum dalam al-Qur’an.
Perbedaan pemahaman sahabat terhadap ayat-ayat hukum dalam al Qur’an adalah buah dari hasil ijtihad. Seperti perbedaan pemahaman sahabat Umar dan Ali tentang masalah masa I’ddah bagi perempuan hamil yang ditinggal mati suaminya, Umar berpendapat bahwa masa I’ddahnya hanya samapi melahirkan sedangkan menurut Ali selain melahirkan juga menunggu hingga empat bulan sepuluh hari.[5] Perbedaan pemahaman sahabat tentunya berdasarkan pada dalil-dalil nash al-Qur’an dan hadis hanya saja ruang ijtihad sahabat diperlukan kala menemukan persoalan yang tidak menemukan penjelasan dalam nash.
2.      Masa Awal Berdirinya Madzhab Fiqhi
Perbedaan adalah rahmat bagi seluruh alam, tentunya jargon tersebut dikonotasikan pada hal-hal yang positif. Pada awal berdirinya madzhabmadzhab fiqhi seperti Syafi’i, Hanafi, Hambali, Maliki dan lainnya perbedaan pemahaman masalah hukum tertentu dan memiliki kesamaan pemahaman pada hukum lainya.[6] Tentunya perbedaan pemahaman semakin banyak dan luas dalam berbagai persoalan pada ruang waktu yang mengalamai perubahan dinamis.
Akan tetapi pada masa ini sejauh perbedaan pemahaman terhadap alQur’an antar fuqaha’ (ahli fiqhi), tetap saling menghormati dan menghargai pendapat yang berbeda. Sebab masalah hukum fiqhi yang sifatnya amali tidak dapat digeneralisir dalam satu kasus, melainkan harus dilakukakan penelitian terhadap berbagai kasus. Sehingga eksistensi tafsir fiqhi pada masa ini murni pada perbedaan pemahaman terhadap al-Qur’an hingga bermunculan beragam madzhab.
3.      Masa Tumbuhnya Taklid dan Fanatisme Madzhab.
 Setelah masa melalui masa imam-imam madzhab, munculnya ruh taklid dan fanatisme madzhab justru tumbuh dengan suburnya. Kondisi ini terus berlangsung hingga mencapai titik kulminasi.[7] Taklid pada dasarnya merupakan suatu hal yang lumrah, akan tetapi taklid dalam urusan agama menjadi indikasi matinya suatu dialektika kajian keagamaan. Sedangkan bentuk fanatisme terhadap madzhab menjadi implikasi dari taklid dan diperkuat juga dengan kehadiran madzhab-madzhab yang berbau politis, jelas tidak akan menemukan kesamaan dalam sebuah penafsiran seperti halnya syi’ah dan khawarij.
Pertumbuhan taklid dan fanatisme madzhab masa ini bermacam-macam, ada yang mengkaji ucapan imam madzhabnya sebagaiman mereka mengkaji al-Qur’an, ada yang mengeluarkan daya kemampuan untuk mendukung imam madzhabnya dan bahkan berusaha untuk membatalkan pendapat madzhabmadzhab lain sebagai bentuk dari fanatisme madzhab yang membabi buta.[8]
C.    Karakteristik Tafsir Fiqhi
Dilihat dari pengertian dari tafsir fiqih dan contoh-contohnya, kita dapat ketahui bahwa karakteristik dari tafsir ini adalah mengedepankan penafsiran ayat-ayat al-Qur`an yang berkaitan dengan hukum fiqih (ayat al-ahkam), dan tidak jarang mengemukakan perbedaan pendapat para ulama fiqih. Corak tafsir ini lebih sering menggunakan metode tafsir maudhu’i karena terkadang mufasir hanya mengambil tema-tema tertentu yang berkaitan dengan fiqih. 
D.    Macam-macam Karya Tafsir Fiqhi
Kategorisasi ragam tafsir fiqhi sebenarnya sulit untuk dilakukan, sebab membutuhkan parameter tertentu dalam setiap kategorisasinya. Akan tetapi kajian terhadap kitab tafsir fiqhi menjadi pintu utama untuk melakukan pengkategorisasian tafsir fiqhi dan relevasinya terhadap madzhab-madzhab fiqhi. Sehingga telaah terhadap epistemologi tafsir fiqhi dapat dikaji melalui kajian tafsir dengan produk.[9] Sebagaimana pengekategorisasian yang dilakukan oleh adz-Dzahaby[10], sebagaimana berikut.
1.      Tafsir fiqhi madzhab Syi’ah Imamiyah Isna A’syariah antara lain:
a)      Ayat al-Ahkam oleh Muhammad ibn Sa’id al-Kalbi (Wafat 146H).
b)      Tafsir al-Khamsimi’at oleh Muqatil ibn Sulaiman al-Khurasani alBalkhi (W 15 H/)
c)      Tafsir Ayat al-Ahkam oleh Hisyam Ibnu Muhammad Ibn Sa’ib al-Kalbi al-Khufi (W 206 H)
d)      Ahkam al-Ahkam oleh ‘Abad Ibn Abbas al-Thaqilani
e)      Syarh Ayat al-Ahkam oleh Ismail ibn A’bad
f)       Al Ibanah ‘an Ma’ani al-Qira’at oleh Makki ibn Abi Thalib al-Qaysi (473 H/1045 M)
g)      Fiqh al-Qur’an fi Ayat al-Ahkam oleh Quthb al-Din al-Rawandi
h)      Tafsir al-Ayat al-Ahkam oleh Muhammad ibn Husein al-Baihaqi alHisyaburi (576 H)
i)       Al-Nihayah fi Tafsir al-Khamsami’at al-Ahkam oleh Ahmad ibn ‘Abdullah Mutawwaj al-Bahraini (771 H)
j)       Kanz al-Irfan fi al-Fiqh al-Qur’an oleh Fadhil Niqbad ibn A’bdullah alSuyuri al-Asadi al-Hilli (826 H). dan masih banyak lagi nama-nama lainya
2.      Tafsir Fiqhi Madzhab Syi’ah Zaidiyah anatara lain:
a)      Syarh Ayat al-Ahkam oleh Yahya ibn Hamzah al-Yamani (749 H)
b)      Ayat al-Ahkam oleh Ahmad ibn Yahya al-Yamani
c)      Syarh Ayat al-Ahkam oleh Muhammad ibn Yahya Sha’di al-Yamani
d)      Ayat al-Ahkam oleh Husain al-Amri al-Yamani (1380)
e)      Syarh Ayat ahkam oleh Yahya ibn Muhammad al-Hasani
f)       Syarah al-Khamsami’at Ayat oleh Yahya Ibn Muhammad al-Najry
g)      Al-Tsamarat al-Yani’ah wa al-Ahkam al-Wadhihah al-Qhati’ah, oleh Syamsuddin ibn Yusuf abn Ahmad.
h)      Muntahana al-Maram, oleh Muhammad ibn Husain Ibn Qasim
3.      Tafsir Madzhab Hanafi antara lain:
a)          al-Qur’an, Oleh Ali ibn Hajar Sa’di al-Azdi al-Thahawisani (Wafat 244 H)
b)        Ayat al-Ahakam oleh Ali ibn Musa (350 H)
c)         Ahkam al-Qur’an, Oleh Ahmad ibn Muhammad al-Azdi al-Thahawi alMisri (370 H)
d)        Syahr Ahkam Al-Qur’an, oleh Ahmad ibn Muhammad al-Razi alJashshash (370 H)
e)         Mukhtashar Ahkam al-Qur’an Oleh Makki ibn Abi Thalib al-Qaysi alQayrwani (437 H)
f)         Anwar al-Qur’an fi Ahkam al-Qur’an oleh Muhammad Kafi ibn Hasan
g)        al-Basandi al-Iqhishari (1025 H)
h)        Anwar al-Qur’an fi Ahkam al-Qur’an Oleh Muhammad Syams al-Din
i)          al-Harawi al-Bukhari (1119)
j)          Ahkam al-Qur’an Oleh Ismail Haqqi (1127 H)
4.      Tafsir Fiqhi Madzhab Maliki antara lain:
a)         Ahkam al-Qur’an oleh Ahmad ibn Mudhal (240 H)
b)        Ahkam al-Qur’an oleh Muhammad ibn Abdullah (Ibn Hakam) (268 H)
c)         Ayat Ahkam oleh Ismail ibn Ishaq al-Azdi (282 H)
d)        Al-Jami’ lil Ahkamil Qur’an oleh al-Qhasim ibn Ashbag al-Qurthuby al-Andalusy (304H)
e)         Ahkam al-Qur’an oleh Muhammad Tamimi (305)
f)         Ahkam al-Qur’an oleh Musa ibn al-Abdur Rahman (306)
5.      Tafsir Fiqhi Madzhab Syafi’I antara lain:
a)      Ahkam al-Qur’an oleh Al-Kiya al-Haras (Abab 6 H)
b)      Al-Qaul al-Wajiz fi Ahkam al-Kitab al-Aziz oleh Syihabuddin al-Halabi
c)      Ahkam al-Kitab al-Mubin oleh Abdullah Mahmud al-Syanfaki (abad 9 H)
d)      Iklil fi Istinbath al-Tanzil oleh Jalaluddin al-Syuyuthy (abad 10 H)
e)      Ahkam al-Qur’an oleh Muhammad ibn Idris al-Syafi’I (204 H)
f)       Ahkam al-Qur’an Oleh Ibrahim ibn Khalid (Abu Tur al-Kalbi)
6.      Tafsir Fiqhi Madzhab Hanbali antara lain:
a)      Ayat al-Ahkma oleh Qhadi Abu Ya’la al-Kabir (458 H)
b)      Ayat al-Ahkam oleh Abu Bakar al-Dimasyqi al-Razi (751)
7.      Tafsir Fiqhi Madzhab Zahiri antara lain :
a)      Ahkam al-Qur’an oleh Dawud ibn Ali al-Dhahiry al-Isfani
b)       Ahkam al-Qur’an oleh Abdullah ibn Ahmad (Ibn al-Muflis)[11]
E.     Contoh Penafsiran Corak Fiqhi
Al-Jami’ lil Ahkamil Qur’an adalah karya Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh Al-Anshari Al-Khazraji Al-Andalusi seorang alim yang mumpuni dari kalangan Maliki. Di dalam tafsirnya ini, al-Qurtubi tidak membatasi kajianya pada ayat-ayat hukum semata, tetapi menafsirkan al-Qur’an secara menyeluruh. Metode tafsir yang digunakan ialah menyebutkan asbabun nuzul (sebab-sebab turunya ayat), mengemukakan ragam qira’at dan i’rab, menjelaskan lafazh-lafazh yang gharib, menghubungkan berbagai pendapat kepada sumbernya, menyediakan paragraph khusus bagi kisah para mufassir dan berita-berita dari para ahli sejarah, mengutip dari para ulama terdahulu yang dapat dipercaya, khususnya penulis kitab hukum. Misalnya, ia mengutip dari ibnu Jarir Ath-Thabari, Ibnu ‘Athiyah, Ibnu Arabi, Alkiya Harrasi dan Abu Bakr Al-Jashash.
Al-Qurtubi sangat luas dalam mengkaji ayat-ayat hukum. Ia mengetengahkan masalah-masalah khilafiyah, hujjah bagi setiap pendapat lalu mengomentarinya. Dia tidak fanatik madzhab. Contohnya saat menafsirkan firman Allah,
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ 
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa dengan istri-istri kamu” (Al-Baqarah:187)
Dalam masalah kedua belas dari masalah yang terkandung dalam ayat ini, sesudah mengemukakan perbedaan pendapat para ulama mengenai hukum orang yang akan makan siang hari di bulan Ramadhan karena lupa dan mengutip pendapat Imam Malik, yang mengatakan batal dan wajib mengqadha. Ia mengatakan, “Menurut pendapat selain Imam Malik, tidaklah dipandang batal setiap orang yang makan karena lupa akan puasanya, dan jumhur pun berpendapt sama bahwa barang siapa makan atau minum karena lupa, ia tidak wajib mengqadhanya. Dan puasanya tetap sempurna. Hal ini berdasarkan pada hadits Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Jika seseorang sedang berpuasa lalu makan atau minum karena lupa, maka yang demikian adalah rezeki yang diberikan Allah kepadanya, dan ia tidak wajib mengqadhanya,”.
Al-Qurtubi juga melakukan konfrontasi terhadap sejumlah golongan lain. Misalnya, ia menyanggah kaum Mu’tazilah, Qadariyah, Syi’ah Rafidhah, para filosof dan kaum sufi yang ekstrim. Tetapi dilakukan dengan bahasa yang halus. Dan didorong oleh rasa keadilan, kadang-kadang ia pun membela orang-orang yang di serang oleh Ibn al-‘Arabi dan mencelanya karena ungkapan-ungkapannya yang kasar dan keras terhadap ulama. Kritikannya pun bersih serta dilakukan dengan cara sopan dan terhormat.[12]




BAB III
KESIMPULAN
Tafsir fiqhi merupakan kombinasi metode dan pendekatan dalam memahami makna ayat-ayat al-Qur’an. Munculnya tafsir fiqhi ini karena adanya kurang pahamnya memahami al-Qur’an. Dahulu pada zaman Rasulullah SAW memahami al-Qur`an dengan “naluri” kearaban mereka. Dan jika terjadi kesulitan dalam memahami sesuatu ayat, mereka langsung menanyakannya kepada Rasulullah saw dan beliau pun lalu menjelaskannya kepada mereka. Setelah Rasulullah saw wafat dan permasalahan-permasalahan baru mulai muncul, maka mereka beristimbat dengan al-Qur`an untuk menetapkan hukum-hukum syara’ bagi permasalahan baru tersebut.
Corak tafsir ini lebih sering menggunakan metode tafsir maudhu’I, bahwa karakteristik dari tafsir ini adalah mengedepankan penafsiran ayat-ayat al-Qur`an yang berkaitan dengan hukum fiqih (ayat al-ahkam).



DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaththan, Manna Kahlil. Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Pustaka Listera AntarNusa: Bogor, 2011).
Ridho, Muhammad. Tafsir dan Dinamika Sosial, (Yogyakarta: Teras, 2010).
Mustaqim,  Abdul. Epistemologi Tafsir Kontemprer, (Yogyakarta: LkiS, 2009)
Adz-Dzahaby, Muhammad Husein. at-Tafsir wa al-Mufassirun, (Beirut: Dar Fikr, 1998).
Khalaf ,  Abdul Wahhab. llmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Majlis al-A’la wa al-Indunisai adDakwah islamiyah, 1972).
Izzan, Ahmad. Metodologi Ilmu Tafsir, cetakan ketiga. (Bandung: Tafakur, 2011).
Ash-Shabuni,  Muhammad Ali At-tibyan fi ‘Ulum al-Qur`an, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2003)
Suma, Muhammad Amin. Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, Jilid 2 (Jakarta, Pustaka Firdaus, 2001).





[1] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2011), cetakan ketiga, hal. 199-200.
[2] Muhammad Ali ash-Shabuni, At-tibyan fi ‘Ulum al-Qur`an, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2003), hlm. 65.
[3] Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 2001), Jilid 2 hlm. 139.
[4] Abdul Wahhab Khalaf , llmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Majlis al-A’la wa al-Indunisai adDakwah islamiyah, 1972), hlm. 29.
[5] Muhammad Husein Adz-Dzahaby, at-Tafsir wa al-Mufassirun, (Beirut: Dar Fikr 1998), Hlm. 319.
[6] Muhammad Husein Adz-Dzahaby, at-Tafsir wa al-Mufassirun, (Beirut: Dar Fikr 1998), Hlm. 320.
[7] Muhammad Ridho, Tafsir dan Dinamika Sosial, (Yogyakarta: Teras 2010), hal. 57
[8] Muhammad Husein Adz-Dzahaby, at-Tafsir wa al-Mufassirun, (Beirut: Dar Fikr 1998), Hlm. 321.
[9] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemprer, (Yogyakarta: LkiS 2009), 24
[10] Muhammad Husein Adz-Dzahaby, at-Tafsir wa al-Mufassirun, (Beirut: Dar Fikr 1998), Hlm. 323-341.
[11] Muhammad Ridho, Tafsir dan Dinamika Sosial, (Yogyakarta: Teras 2010), hal. 60.
[12] Manna Kahlil al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Pustaka Listera AntarNusa: Bogor, 2011), hlm. 520-521.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH ASBAB Al-NUZUL SURAT AL-BAQARAH AYAT 196, 197, DAN 198

MAKALAH ASBAB Al-NUZUL SURAT AL-BAQARAH AYAT 196, 197, DAN 198 Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Asbab al-Nuzul Dosen Pengampu: Dr. Zaenal Arifin Madzkur, MA Disusun Oleh: Ja’far Shodiq Majdi Hafizhur Rahman INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL–QUR’AN JAKARTA PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN 2019 BAB I PENDAHULUAN A.   Latar Belakang Ada banyak bingkai ilmu untuk memahami dan menafsirkan al-Qur’an. Dalam ulumul qur’an misalnya, ada sederet bab tentang bermacam-macam prinsip keilmuan dalam al-Qur’an. Salah satunya adalah Asbab al-Nuzul , Quraish Shihab dalam bukunya “Kaidah Tafsir” mengutip tentang definisi asbabun nuzul yang populer di kalangan ulama yaitu berbagai peristiwa yang terjadi semasa turunnya ayat al-Qur’an, baik peristiwa tersebut terjadi sebelum maupun sesudah turunnya ayat dan dimana peristiwa tersebut berkaitan atau dapat juga dikaitkan dengan peristiwa tersebut. [1...

MAKALAH TAFSIR AL-IBRIZ

MAKALAH TAFSIR AL-IBRIZ Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Perkembangan Tafsir di Indonesia Dosen pengampu: Ansor Bahary, MA. Disusun Oleh : Ja’far Shodiq Ahmad Mubarok Alyamamah INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL – QURAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN 2020 BAB I PENDAHULUAN Al-Qur’an merupakan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., dengan berbahasa Arab sebagai petunjuk bagi manusia, menjadi penjelas bagi segala sesuatu yang mengetahui dan yang bersedia   mendengarkan. [1] Sebagai firman Allah SWT., al-Qur’an adalah media yang dijadikan alat komunikasi   Allah SWT., dengan manusia. Perintah, larangan, kabar gembira, kabar buruk, petunjuk Allah SWT., hanya dapat diketahui oleh manusia melalui firman-Nya. Inilah yang menjadikan al-Qur’an sebagai petunjuk penting dalam agama Islam. Harus diingat, bahwa pemeluk agama Islam bukan hanya pada lokalitas tertentu yang mempunyai ...
Hai yogya? Bagaimana kabarmu? Iya, kamu.. Kamu tempat kelahiranku Kamu yang membesarkanku Kamu yang menjadi guruku Kamu yang selalu ku rindu Kamu yang selalu ku cinta Kamu yang selalu ku bangga Kamu yang selalu mengingatkanku, Bahwa sejauh kemanapun aku pergi, Kamulah tempatku kembali...