Langsung ke konten utama

MAKALAH ASBAB Al-NUZUL SURAT AL-BAQARAH AYAT 196, 197, DAN 198


MAKALAH
ASBAB Al-NUZUL SURAT AL-BAQARAH
AYAT 196, 197, DAN 198
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Asbab al-Nuzul
Dosen Pengampu: Dr. Zaenal Arifin Madzkur, MA


Disusun Oleh:
Ja’far Shodiq
Majdi Hafizhur Rahman


INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL–QUR’AN JAKARTA
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
2019


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Ada banyak bingkai ilmu untuk memahami dan menafsirkan al-Qur’an. Dalam ulumul qur’an misalnya, ada sederet bab tentang bermacam-macam prinsip keilmuan dalam al-Qur’an. Salah satunya adalah Asbab al-Nuzul, Quraish Shihab dalam bukunya “Kaidah Tafsir” mengutip tentang definisi asbabun nuzul yang populer di kalangan ulama yaitu berbagai peristiwa yang terjadi semasa turunnya ayat al-Qur’an, baik peristiwa tersebut terjadi sebelum maupun sesudah turunnya ayat dan dimana peristiwa tersebut berkaitan atau dapat juga dikaitkan dengan peristiwa tersebut.[1]
Sabab al-nuzul memiliki peranan salah satunya untuk memahami kandungan ayat, bahkan semisal ayat tersebut tidak dipahami melalui sabab al-nuzulnya  maka tidak akan dapat dipahami dengan benar. Oleh sebab itu begitu penting untuk memahami sabab al-nuzul dalam memahami kandungan ayat ataupun memperjelas isi kandungannya.

B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana Sabab al-nuzul surat al-Baqarah ayat 196?
2.    Bagaimana Sabab al-nuzul surat al-Baqarah ayat 197?
3.    Bagaimana Sabab al-nuzul surat al-Baqarah ayat 198?

C.  Tujuan
Mengetahui sabab al-nuzul surat al-Baqarah ayat 196, 197, dan 198 serta kandungan dari ayat-ayat tersebut.


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Surat Al-Baqarah Ayat 196

وَاَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلّٰهِ ۗ فَاِنْ اُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِۚ وَلَا تَحْلِقُوْا رُءُوْسَكُمْ حَتّٰى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهٗ ۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ بِهٖٓ اَذًى مِّنْ رَّأْسِهٖ فَفِدْيَةٌ مِّنْ صِيَامٍ اَوْ صَدَقَةٍ اَوْ نُسُكٍ ۚ فَاِذَآ اَمِنْتُمْ ۗ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ اِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِۚ فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلٰثَةِ اَيَّامٍ فِى الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ اِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ۗذٰلِكَ لِمَنْ لَّمْ يَكُنْ اَهْلُهٗ حَاضِرِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

 “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Tetapi jika kamu terkepung (oleh musuh), maka (sembelihlah) hadyu yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka dia wajib berfidiah, yaitu berpuasa, bersedekah, atau berkurban. Apabila kamu dalam keadaan aman, maka barang siapa mengerjakan umrah sebelum haji, dia (wajib menyembelih) hadyu yang mudah didapat. Tetapi jika dia tidak mendapatkannya, maka dia (wajib) berpuasa tiga hari dalam (musim) haji dan tujuh (hari) setelah kamu kembali. Itu seluruhnya sepuluh (hari). Demikian itu, bagi orang yang keluarganya tidak ada (tinggal) di sekitar Masjidilharam. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras hukuman-Nya.” (al-Baqarah: 196)

1.    Asbab Al-Nuzul Surat Al-Baqarah Ayat 196
Ayat ini turun pada peristiwa Perjanjian Hudaibiyah pada tahun ke-6 Hijriah. Ketika itu, kamu musyrik mencegat kedatangan umat Islam yang hendak berumrah. Melalui ayat ini Allah memerintahkan mereka yang melaksanakan umrah (dan haji ketika nanti diwajibkan) untuk menyempurnakan rangkaian manasik.[2]

·     عَنْ يَعْلَى بْنِ أُمَيَّةَ، أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ بِالْجِعْرَانَةِ، وَعَلَيْهِ جُبَّةٌ وَعَلَيْهِ أَثَرُ الْخَلُوْقِ - أَوْ قَالَ: صُفْرَةٌ -، فَقَالَ: كَيْفَ تَأْمُرُنِيْ أَنْ أَصْنَعَ فِيْ عُمْرَتِيْ؟ فَأَنْزَلَ اللهُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسُتِرَ بِثَوْبٍ، وَوَدِدْتُ أَنِّيْ قَدْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ أُنْزِلَ عَلَيْهِ الْوَحْيُ، فَقَالَ عُمَرُ: تَعَالَ أَيَسُرُّكَ أَنْ تَنْظُرَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَقَدْ أَنْزَلَ اللهُ عَلَيْهِ الوَحْيَ؟ قُلْتُ: نَعَمْ، فَرَفَعَ طَرَفَ الثَّوْبِ، فَنَظَرْتُ إِلَيْهِ لَهُ غَطِيْطٌ، - وَأَحْسِبُهُ قَالَ: كَغَطِيْطِ الْبَكْرِ - فَلَمَّا سُرِّيَ عَنْهُ قَالَ: أَيْنَ السَّائِلُ عَنِ العُمْرَةِ؟ اِخْلَعْ عَنْكَ الْجُبَّةَ وَاغْسِلْ أَثَرَ الْخَلُوْقِ عَنْكَ وَأَنْقِ الصُّفْرَةَ وَاصْنَعْ فِيْ عُمْرَتِكَ كَمَا تَصْنَعُ فِيْ حَجِّكَ.[3]

Ya’la bin Umayyah berkata, “Pada peristiwa Hudaibiyah seorang pria menghadap Rasulullah saw yang saat itu berada di Ji’ranah. Pria itu mengenakan jubah dengan bercak kekuningan akibat minyak wangi yang dipakainya. Ia bertanya, ‘Menurutmu, apa yang harus aku lakukan terkait umrahku?’ Allah lalu menurunkan ayat, wa’atimmul hajja wal-‘umrata lillah.nketika ayat ini turun, badan Nabi tertutup selembar kain. Aku sungguh ingin tahu bagaimana keadaan beliau ketika menerima wahyu. (Seakan tahu keinginanku), Umar menanyaiku, ‘Kemarilah! apakah engkau ingin melihat Nabi menerima wahyu?’ ‘Ya,’ jawabku. Ia lalu menyingkap ujung kain itu sehingga dapat kulihat bagaimana Nabi mendengkur lirirh-aku kira perawi mengatakan, ‘Layaknya dengkuran unta muda.’ Begitu kain itu disingkap seluruhnya dari badannya, Nabi bersabda, ‘Dimanakah pria yang tadi bertanya tentang umrah? Tanggalkan jubahmu, basuhlah bekas minyak wangi, bersihkanlah bercak kekuningan itu, dan sempurnakanlah rangkaian umrahmu layaknya engkau menyempurnakan rangkaian haji.’”

Adapun sebab nuzul bagian kedua ayat di atas adalah kejadian yang terekam dalam riwayat berikut.

·      عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ قَالَ: وَقَفَ عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْحُدَيْبِيَةِ وَرَأْسِيْ يَتَهَافَتُ قَمْلًا، فَقَالَ: يُؤْذِيْكَ هَوَامُّكَ؟ قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: فَاحْلِقْ رَأْسَكَ، أَوْ قَالَ: احْلِقْ، قَالَ: فِيَّ نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ:(فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ) إِلَى آخِرِهَا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صُمْ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ أَوْ تَصَدَّقْ بِفَرَقٍ بَيْنَ سِتَّةٍ أَوِ انْسُكْ بِمَا تَيَسَّرَ.[4]

·       قال الإمام البخاري في صحيحه ج4 ص387 حدثنا أبو نعيم حدثنا سيف قال: حدثني مجاهد قال: سمعت عبد الرحمن بن أبي ليلى أن كعب بن عجرة حدثه قال: وَقَفَت عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْحُدَيْبِيَةِ وَرَأْسِيْ يَتَهَافَتُ قَمْلًا، فَقَالَ: يُؤْذِيْكَ هَوَامُّكَ؟ قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: فَاحْلِقْ رَأْسَكَ، أَوْ قَالَ: احْلِقْ، قَالَ: فِيَّ نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ:(فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ) إِلَى آخِرِهَا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صُمْ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ أَوْ تَصَدَّقْ بِفَرَقٍ بَيْنَ سِتَّةٍ أَوِ انْسُكْ بِمَا تَيَسَّرَ[5]

Ka’b bin ‘Ujrah berkata, “Pada peristiwa Hudaibiyah, Rasulullah saw berhenti di dekatku. Ketika itu kutu-kutu di kepalaku berjatuhan. ‘apakah kutu-kutu di kepalamu itu mengganggumu?’ tanya beliau. ‘Ya,’ jawabku. Beliau bersabda, ‘Kalau begitu, cukurlah rambutmu!’-dalam riwayat lain, ‘Bercukurlah!’Terkait diriku turunlah firman Allah, faman kana minkum maridhan au bihi azan min ra’sih ... hingga akhir ayat. Rasulullah bersabda setelah aku bercukur, ‘Sebagaimana dam atas bercukur itu, berpuasalah selama tiga hari, atau bersedakahlah kepada enam orang sebanyak satu faraq-sekitar 6,5 kg; atau sembelihlah hewan yang engkau mampu.”

2.    Kesimpulan dari Surat Al-Baqarah Ayat 196
Kata اَتِمُّوا mempunyai makna “sempurnakanlah”. Namun para ulama mempunyai pendapat yang berbeda mengenai makna lafadz ini. pertama ada yang mengartikanya dalam arti perintah melaksanakan haji dan umrah, sebagaimana ditetapkan syariat dan dengan demikian hukum haji dan umrah adalah wajib. Kedua mengartikan bahwa penyempurnaan itu bukan tentang hukum wajib atau sunnahnya tetapi kesempurnaan keduanya dengan memenuhi rukun dan syaratnya sebaik mungkin.[6]
Kandungan hukum dari ayat ini antara lain adalah:
a.    Pelaksanaan haji ada tiga macam, yaitu: Haji dikerjakan terlebih dahulu baru umrah (haji ifraad). Ini adalah cara yang paling baik, oleh karena itu tidak ada denda karena dilaksanakan sesuai dengan perintah aslinya. Mendahulukan umrah dulu kemudian haji (haji tamattu’) Mengerjakan umrah terlebih dahulu yaitu ihram dari miqat, thawaf-sa’i, dan tahallul.[7] Maka ia telah bebas dari larangan selama ihram sampai waktu haji tiba (8,9 dan 10 Dzulhijjah). Haji ini dikenakan denda dengan menyembelih seekor domba atau berpuasa 10 hari. tiga hari di Mekkah dan tujuh hari di kampung halaman. Haji dikerjakan bersama umrah sekaligus dari miqat (haji qiraan). Barang siapa menhgerjakan haji inipun wajib membayar denda.
b.    Rukun haji ada enam, yaitu ihram, wukuf, thawaf, sa’i dan tahallul yang kesemuanya wajib dipenuhi.
c.    Jika dalam keadaan tertawan atau terkepung oleh musuh dan tidak dapat menyempurnakan haji, maka diwajibkan menyembelih hadyu atau sembelihan dan dilarang mencukur rambut sebelum hewan disembelih. Jika terpaksa mencukur rambut dikarenakan sakit maka diwajibkan berpuasa tiga hari atau bersedekah dan berkurban.
d.    Jika dalam keadaan aman dan tidak dapat menyempurnakan haji dikarenakan ada hakangan seperti sakit dan sebagainya, maka diwajibkan menyembelih kurban atau berpuasa tiga hari di Mekkah dan tujuh hari di kampung halaman.

B.  Surat Al-Baqarah Ayat 197

اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ يَّعْلَمْهُ اللّٰهُ ۗ وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوْنِ يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ

“(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barang siapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia berkata jorok (rafaš), berbuat maksiat, dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya. Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat!” (al-Baqarah: 197)

1.    Asbab Al-Nuzul Surat Al-Baqarah Ayat 197
Ayat ini turun sebagai bentuk teguran terhadap kebiasaan jamaah haji dari Yaman yang pada masa itu enggan membawa bekal. Akhirnya, sesampainya di Mekah mereka harus meminta-meminta kepada jamaah yang lain guna memenuhi kebutuhan mereka.

·     عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ أَهْلُ الْيَمَنِ يَحُجُّوْنَ وَلَا يَتَزَوَّدُوْنَ وَيَقُوْلُوْنَ: نَحْنُ الْمُتَوَكِّلُوْنَ، فَإِذَا قَدِمُوْا مَكَّةَ سَأَلُوا النَّاسَ، فَأَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى: (وَتَزَوَّدُوْا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى).[8]

Ibnu Abbas ra berkata, “Dulu penduduk Yaman biasa berangkat haji tanpa membawa bekal. Mereka berkata, ‘Kami adalah orang-orang yang bertawakal,’ Sampai di Mekah, mereka pun terpaksa meminta minta kepada jamaah haji yang lain. Berkaitan dengan hal ini, Allah menurunkan firman-Nya, wa Tazawwadu fa inna Khaira al-Zadi al-Taqwa.”

2. Kesimpulan Surat Al-Baqarah Ayat 197
Bekal yang dimaksud ada dua macam. Pertama bekal materi sehingga masing-masing calon tidak terganggu pikirannya atau resah jiwanya, tidak juga harus membuang air mukanya dengan meminta-minta akibat kekurangan bekal, bahkan jamaah haji dituntut agar dapat saling membantu dan saling memberi. Bekal kedua adalah dalam bidang rohani.
Bekal jenis kedua ini menuntut kesiapan mental, ilmu pengetahuan khususnya menyangkut ibadah yang akan dilaksanakan, karena kesempurnaan haji bukan pada gerakan fisiknya, tetapi pada kemantapan jiwa menghadap Allah swt.
Salah satu yang amat penting untuk diketahui, ditegaskan oleh ayat ini, yaitu Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Takwa, yakni upaya menghindari siksa dan sanksi Tuhan, baik duniawi akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah yang berlaku pada alam maupun ukhrawi akibat pelanggaran hukum-hukum Allah yang ditetapkan-Nya dalam syariat.
Pesan berbekallah maka sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, dapat juga dipahami dalam arti berbekallah dan bertakwalah kepada Allah dalam menyiapkan dan membawa bekal itu. Jangan jadikan bekal yang engkau persiapkan  atau bawa merupakan hasil dari pelanggaran atau harta yang haram. Jangan juga membawa bekal yang tidak dibenarkan Allah atau peraturan yang ditetapkan pemerintah yang berwenang mengatur urusan masyarakat, baik di tempat kamu maupun di tempat yang kamu tuju. Jangan juga membawa bekal yang berlebihan sehingga mubazzir, atau mengakibatkan pemborosan. Itu agaknya yang menjadi sebab sehingga pesan ini diakhiri dengan perintah bertakwa sekali lagi, yaitu firman-Nya, dan bertakwalah kepada-Ku, wahai Ulu al-Albab[9].

C.  Surat Al-Baqarah Ayat 198

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَبْتَغُوْا فَضْلًا مِّنْ رَّبِّكُمْ ۗ فَاِذَآ اَفَضْتُمْ مِّنْ عَرَفٰتٍ فَاذْكُرُوا اللّٰهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ ۖ وَاذْكُرُوْهُ كَمَا هَدٰىكُمْ ۚ وَاِنْ كُنْتُمْ مِّنْ قَبْلِهٖ لَمِنَ الضَّاۤلِّيْنَ

Bukanlah suatu dosa bagimu mencari karunia dari Tuhanmu. Maka apabila kamu bertolak dari Arafah, berzikrilah kepada Allah di Masy’arilharam. Dan berzikirlah kepada-Nya sebagaimana Dia telah memberi petunjuk kepadamu, sekalipun kamu sebelumnya benar-benar termasuk orang yang tidak tahu.” (Q.S. al-Baqarah: 198)






1.    Asbab Al-Nuzul Surat Al-Baqarah Ayat 198

·     عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: "كَانَتْ عُكَاظُ، وَمَجَنَّةُ، وَذُو المَجَازِ أَسْوَاقًا فِي الجَاهِلِيَّةِ، فَتَأَثَّمُوا أَنْ يَتَّجِرُوا فِي المَوَاسِمِ، فَنَزَلَتْ: {لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ}  فِي مَوَاسِمِ الحَجِّ"[10]

Ibnu ‘Abbas ra berkata, “Ukaz, Majannah, Zul-Majaz adalah beberapa nama pasar yang ada pada masa jahiliyah. Mereka (para sahabat) khawatir berdosa apabila berjualan pada musim-musim haji. Karena Allah menurunkan firman-Nya, laisa ‘alaikum junahun an tabtagu fadlan min_rabbikum – bukanlah suatu dosa apabila kalian berjualan pada musim-musim haji

·   وأخرج أحمد وابن أبي حاتم وابن جرير والحاكم وغيرهم من طرق عن أبي أمامة التيمي قال قلت لابن عمر إنا نكري فهل لنا من حج فقال ابن عمر جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فسأله عن الذي سألتني عنه فلم يجبه حتى نزل عليه جبريل بهذه الآية ليس عليكم جناح أن تبتغوا فضلا من ربكم فدعاه النبي صلى الله عليه وسلم فقال أنتم حجاج[11]

2.    Kesimpulan Surat Al-Baqarah Ayat 198
Tidak ada dosa atas kamu, yakni kamu tidak berdosa mencari dengan penuh kesungguhan, sebagaimana dipahami dari penambahan huruf ta’ pada kata tabtaghu, selama yang dicari itu berupa anugerah dari Tuhanmu, yakni berupa rezeki hasil perniagaan dan usaha halal lainnya dari Tuhanmu pada musim haji. Namun demikian, kamu tetap harus berzikir mengingat Allah serta mengingat tujuan ibadah haji, maka apabila kamu telah bergegas, berduyun-duyun bertolak dari Arafah setelah Maghrib menuju ke Muzdalifah, berzikirlah kepada Allah sejak berada di dekat Masy’ar al-Haram, yaitu bukit Quzah di Muzdalifah.
Ayat ini mengisyaratkan dua tempat perhentian. Persinggahan pertama adalah wukuf di Arafah yang berlangsung dari siang (Zhuhur) sampai malam (Maghrib) dan persinggahan kedua di Muzdalifah dari malam sampai siang. Persinggahan pertama, yakni wukuf di Arafah adalah rukun, tidak sah haji bila ini ditinggalkan. Sedang persinggahan kedua di malam hari, hukumnya wajib walau sekejap, bila ditinggalkan mengharuskan pembayaran dam. Di kedua tempat itu, jamaah haji diharapkan memperbanyak zikir.
Berzikirlah kepada Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu;atau disebabkan karena Dia telah memberi petunjuk kepada kamu.
Dalam al-Qur’an dan melalui rasul-Nya Allah mengajarkan empat macam zikir, yaitu dengan lidah melalui ucapan, dengan anggota tubuh melalui pengamalan, dengan pikiran melalui perenungan yang mengantar kepada pengetahuan, serta denganhati melalui kesadaran akan kebesaran-Nya yang menghasilkan emosi keagamaan dan keyakinan yang benar. Zikir-zikir tersebut pada akhirnya harus membuahkan amal kebajikan.
Sesungguhnya kamu sekalian sebelum itu yakni sebelum datangnnya petunjuk Allah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. Termasuk keompok-kelompok orang yang sesat, yakni tidak mengetahui jalan yang benar menuju ridha-Nya, serta melaksanakan haji dan umrah tidak sesuai dengan yang diajarkan-Nya.[12]





BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
1.      Kata اَتِمُّوا mempunyai makna “sempurnakanlah”. Namun para ulama mempunyai pendapat yang berbeda mengenai makna lafadz ini. pertama ada yang mengartikanya dalam arti perintah melaksanakan haji dan umrah, sebagaimana ditetapkan syariat dan dengan demikian hukum haji dan umrah adalah wajib. Kedua mengartikan bahwa penyempurnaan itu bukan tentang hukum wajib atau sunnahnya tetapi kesempurnaan keduanya dengan memenuhi rukun dan syaratnya sebaik mungkin
2.      Bekal yang dimaksud ada dua macam. Pertama bekal materi sehingga masing-masing calon tidak terganggu pikirannya atau resah jiwanya, tidak juga harus membuang air mukanya dengan meminta-minta akibat kekurangan bekal, bahkan jamaah haji dituntut agar dapat saling membantu dan saling memberi. Bekal kedua adalah dalam bidang rohani. Bekal jenis kedua ini menuntut kesiapan mental, ilmu pengetahuan khususnya menyangkut ibadah yang akan dilaksanakan, karena kesempurnaan haji bukan pada gerakan fisiknya, tetapi pada kemantapan jiwa menghadap Allah swt.
3.      Tidak ada dosa atas kamu, yakni kamu tidak berdosa mencari dengan penuh kesungguhan, sebagaimana dipahami dari penambahan huruf ta’ pada kata tabtaghu, selama yang dicari itu berupa anugerah dari Tuhanmu, yakni berupa rezeki hasil perniagaan dan usaha halal lainnya dari Tuhanmu pada musim haji. Namun demikian, kamu tetap harus berzikir mengingat Allah serta mengingat tujuan ibadah haji, maka apabila kamu telah bergegas, berduyun-duyun bertolak dari Arafah setelah Maghrib menuju ke Muzdalifah, berzikirlah kepada Allah sejak berada di dekat Masy’ar al-Haram, yaitu bukit Quzah di Muzdalifah.

DAFTAR PUSTAKA


As-Suyuthi, Jalaluddin. lubab an-Nuqul Fi Asbab an-Nuzul. 2002. Libabon: Beirut.
Hanafi, Muchlis M. 2017. Asbabun Nuzul: Kronologi dan Sebab Turun Wahyu Al-Qur’an. Jakarta: LPMQ.
Muqbil, Abu Abdirrahman. 2004.  ash-Shohih al-Musnad Min Asbab an-Nuzul. Yaman: Maktabah Shun’ai al-Atsariyyah.
Shihab, M. Quraish. 2013. Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Al-Qur’an. Tangerang: Lentera Hati.
Shihab, M. Quraish.. Tafsir al- Misbah Jilid I. 2017. Jakarta: Lentera Hati.
Zarkasyi, Imam. Fiqih 2. 1958. Ponorogo: Trimurti Press.




[1] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Al-Qur’an, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 235.
[2] Muchlis M. Hanafi, Asbabun Nuzul: Kronologi dan Sebab Turun Wahyu Al-Qur’an, (Jakarta: LPMQ, 2017), Cet. II. Hal. 110.
[3] Sahih al-Bukhariy, al-Mujallid al-Tsalits, dalam al-‘Umrah, Bab Yaf’alu fii al-‘Umrati maa Yaf’alu fii al-Hajji, hlm. 14, hadis nomor 1799.
[4] Sahih al-Bukhariy, al-Mujallid al-Tsalits, dalam al-Muhshar wa Jazaa’u al-Shaydi, Bab Qaulillahi Ta’ala: (au shadaqatin) wa Hiya It’amu Sittati Masakina, hlm. 28, hadis nomor 1825.
[5] Abu Abdirrahman Muqbil Bin Hadi, ash-Shohih al-Musnad Min Asbab an-Nuzul, (Yaman: Maktabah Shun’ai al-Atsariyyah, 2004), hlm. 35.
[6] M. Quraish Shihab,Tafsir al- Misbah Jilid I ( Jakarta: Lentera Hati, 2017). hal. 520.
[7] Imam Zarkasyi, Fiqih 2 (Ponorogo: Trimurti Press, 1958), hal. 31.
[8] Sahih al-Bukhariy, al-Mujallid al-Tsaniy, dalam Kitabu al-Hajji, Bab Qaulillahi Ta’ala: (wa Tazawwadu fa inna Khaira al-Zadi al-Taqwa, hlm. 377, hadis nomor 1536.
[9] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), cet. V.  hlm. 435.
[10] Jalaluddin as-Suyuthi, lubab an-Nuqul Fi Asbab an-Nuzul, (Libabon: Beirut, 2002),hal. 38.
[11] Jalaluddin as-Suyuthi, lubab an-Nuqul Fi Asbab an-Nuzul, (Libabon: Beirut, 2002),hal. 38.
[12] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), cet. V.  hlm. 436.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH TAFSIR AL-IBRIZ

MAKALAH TAFSIR AL-IBRIZ Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Perkembangan Tafsir di Indonesia Dosen pengampu: Ansor Bahary, MA. Disusun Oleh : Ja’far Shodiq Ahmad Mubarok Alyamamah INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL – QURAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN 2020 BAB I PENDAHULUAN Al-Qur’an merupakan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., dengan berbahasa Arab sebagai petunjuk bagi manusia, menjadi penjelas bagi segala sesuatu yang mengetahui dan yang bersedia   mendengarkan. [1] Sebagai firman Allah SWT., al-Qur’an adalah media yang dijadikan alat komunikasi   Allah SWT., dengan manusia. Perintah, larangan, kabar gembira, kabar buruk, petunjuk Allah SWT., hanya dapat diketahui oleh manusia melalui firman-Nya. Inilah yang menjadikan al-Qur’an sebagai petunjuk penting dalam agama Islam. Harus diingat, bahwa pemeluk agama Islam bukan hanya pada lokalitas tertentu yang mempunyai ...
Hai yogya? Bagaimana kabarmu? Iya, kamu.. Kamu tempat kelahiranku Kamu yang membesarkanku Kamu yang menjadi guruku Kamu yang selalu ku rindu Kamu yang selalu ku cinta Kamu yang selalu ku bangga Kamu yang selalu mengingatkanku, Bahwa sejauh kemanapun aku pergi, Kamulah tempatku kembali...