ASBAB Al-NUZUL SURAT AL-BAQARAH
AYAT 196, 197, DAN 198
Disusun
untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Asbab al-Nuzul
Disusun Oleh:
Ja’far Shodiq
Majdi Hafizhur Rahman
INSTITUT
PERGURUAN TINGGI ILMU AL–QUR’AN JAKARTA
PROGRAM STUDI
ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS
USHULUDDIN
2019
BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ada banyak bingkai
ilmu untuk memahami dan menafsirkan al-Qur’an. Dalam ulumul qur’an
misalnya, ada sederet bab tentang bermacam-macam prinsip keilmuan dalam
al-Qur’an. Salah satunya adalah Asbab al-Nuzul, Quraish Shihab dalam
bukunya “Kaidah Tafsir” mengutip tentang definisi asbabun nuzul yang
populer di kalangan ulama yaitu berbagai peristiwa yang terjadi semasa
turunnya ayat al-Qur’an, baik peristiwa tersebut terjadi sebelum maupun sesudah
turunnya ayat dan dimana peristiwa tersebut berkaitan atau dapat juga dikaitkan
dengan peristiwa tersebut.[1]
Sabab
al-nuzul memiliki peranan salah satunya untuk memahami
kandungan ayat, bahkan semisal ayat tersebut tidak dipahami melalui sabab
al-nuzulnya maka tidak akan dapat
dipahami dengan benar. Oleh sebab itu begitu penting untuk memahami sabab
al-nuzul dalam memahami kandungan ayat ataupun memperjelas isi
kandungannya.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Sabab
al-nuzul surat al-Baqarah ayat 196?
2.
Bagaimana Sabab
al-nuzul surat al-Baqarah ayat 197?
3.
Bagaimana Sabab
al-nuzul surat al-Baqarah ayat 198?
C. Tujuan
Mengetahui sabab
al-nuzul surat al-Baqarah ayat 196, 197, dan 198 serta kandungan dari
ayat-ayat tersebut.
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Surat Al-Baqarah Ayat 196
وَاَتِمُّوا
الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلّٰهِ ۗ فَاِنْ اُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ
الْهَدْيِۚ وَلَا تَحْلِقُوْا رُءُوْسَكُمْ حَتّٰى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهٗ ۗ
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ بِهٖٓ اَذًى مِّنْ رَّأْسِهٖ فَفِدْيَةٌ
مِّنْ صِيَامٍ اَوْ صَدَقَةٍ اَوْ نُسُكٍ ۚ فَاِذَآ اَمِنْتُمْ ۗ فَمَنْ
تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ اِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِۚ فَمَنْ
لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلٰثَةِ اَيَّامٍ فِى الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ اِذَا
رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ۗذٰلِكَ لِمَنْ لَّمْ يَكُنْ اَهْلُهٗ
حَاضِرِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ
اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
“Dan
sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Tetapi jika kamu terkepung
(oleh musuh), maka (sembelihlah) hadyu yang mudah didapat, dan jangan
kamu mencukur kepalamu, sebelum hadyu sampai di tempat
penyembelihannya. Jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di
kepalanya (lalu dia bercukur), maka dia wajib berfidiah, yaitu berpuasa, bersedekah,
atau berkurban. Apabila kamu dalam keadaan aman, maka barang siapa mengerjakan
umrah sebelum haji, dia (wajib menyembelih) hadyu yang mudah didapat.
Tetapi jika dia tidak mendapatkannya, maka dia (wajib) berpuasa tiga hari dalam
(musim) haji dan tujuh (hari) setelah kamu kembali. Itu seluruhnya sepuluh
(hari). Demikian itu, bagi orang yang keluarganya tidak ada (tinggal) di
sekitar Masjidilharam. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah
sangat keras hukuman-Nya.” (al-Baqarah: 196)
1. Asbab Al-Nuzul Surat Al-Baqarah Ayat 196
Ayat ini turun pada peristiwa Perjanjian Hudaibiyah
pada tahun ke-6 Hijriah. Ketika itu, kamu musyrik mencegat kedatangan umat
Islam yang hendak berumrah. Melalui ayat ini Allah memerintahkan mereka yang
melaksanakan umrah (dan haji ketika nanti diwajibkan) untuk menyempurnakan
rangkaian manasik.[2]
· عَنْ يَعْلَى بْنِ أُمَيَّةَ، أَنَّ رَجُلًا
أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ بِالْجِعْرَانَةِ،
وَعَلَيْهِ جُبَّةٌ وَعَلَيْهِ أَثَرُ الْخَلُوْقِ - أَوْ قَالَ: صُفْرَةٌ -،
فَقَالَ: كَيْفَ تَأْمُرُنِيْ أَنْ أَصْنَعَ فِيْ عُمْرَتِيْ؟ فَأَنْزَلَ اللهُ
عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسُتِرَ بِثَوْبٍ، وَوَدِدْتُ
أَنِّيْ قَدْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ أُنْزِلَ
عَلَيْهِ الْوَحْيُ، فَقَالَ عُمَرُ: تَعَالَ أَيَسُرُّكَ أَنْ تَنْظُرَ إِلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَقَدْ أَنْزَلَ اللهُ عَلَيْهِ
الوَحْيَ؟ قُلْتُ: نَعَمْ، فَرَفَعَ طَرَفَ الثَّوْبِ، فَنَظَرْتُ إِلَيْهِ لَهُ
غَطِيْطٌ، - وَأَحْسِبُهُ قَالَ: كَغَطِيْطِ الْبَكْرِ - فَلَمَّا سُرِّيَ عَنْهُ
قَالَ: أَيْنَ السَّائِلُ عَنِ العُمْرَةِ؟ اِخْلَعْ عَنْكَ الْجُبَّةَ وَاغْسِلْ
أَثَرَ الْخَلُوْقِ عَنْكَ وَأَنْقِ الصُّفْرَةَ وَاصْنَعْ فِيْ عُمْرَتِكَ كَمَا
تَصْنَعُ فِيْ حَجِّكَ.[3]
Ya’la
bin Umayyah berkata, “Pada peristiwa Hudaibiyah seorang pria menghadap
Rasulullah saw yang saat itu berada di Ji’ranah. Pria itu mengenakan jubah
dengan bercak kekuningan akibat minyak wangi yang dipakainya. Ia bertanya,
‘Menurutmu, apa yang harus aku lakukan terkait umrahku?’ Allah lalu menurunkan
ayat, wa’atimmul hajja wal-‘umrata lillah.nketika ayat ini turun, badan
Nabi tertutup selembar kain. Aku sungguh ingin tahu bagaimana keadaan beliau
ketika menerima wahyu. (Seakan tahu keinginanku), Umar menanyaiku, ‘Kemarilah!
apakah engkau ingin melihat Nabi menerima wahyu?’ ‘Ya,’ jawabku. Ia lalu
menyingkap ujung kain itu sehingga dapat kulihat bagaimana Nabi mendengkur
lirirh-aku kira perawi mengatakan, ‘Layaknya dengkuran unta muda.’ Begitu kain
itu disingkap seluruhnya dari badannya, Nabi bersabda, ‘Dimanakah pria yang
tadi bertanya tentang umrah? Tanggalkan jubahmu, basuhlah bekas minyak wangi,
bersihkanlah bercak kekuningan itu, dan sempurnakanlah rangkaian umrahmu
layaknya engkau menyempurnakan rangkaian haji.’”
Adapun
sebab nuzul bagian kedua ayat di atas adalah kejadian yang terekam dalam
riwayat berikut.
· عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ قَالَ: وَقَفَ
عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْحُدَيْبِيَةِ
وَرَأْسِيْ يَتَهَافَتُ قَمْلًا، فَقَالَ: يُؤْذِيْكَ هَوَامُّكَ؟ قُلْتُ: نَعَمْ،
قَالَ: فَاحْلِقْ رَأْسَكَ، أَوْ قَالَ: احْلِقْ، قَالَ: فِيَّ نَزَلَتْ هَذِهِ
الْآيَةُ:(فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ) إِلَى
آخِرِهَا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صُمْ ثَلاَثَةَ
أَيَّامٍ أَوْ تَصَدَّقْ بِفَرَقٍ بَيْنَ سِتَّةٍ أَوِ انْسُكْ بِمَا تَيَسَّرَ.[4]
· قال الإمام البخاري في صحيحه ج4 ص387 حدثنا
أبو نعيم حدثنا سيف قال: حدثني مجاهد قال: سمعت عبد الرحمن بن أبي ليلى أن كعب بن
عجرة حدثه قال: وَقَفَت عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِالْحُدَيْبِيَةِ وَرَأْسِيْ يَتَهَافَتُ قَمْلًا، فَقَالَ: يُؤْذِيْكَ
هَوَامُّكَ؟ قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: فَاحْلِقْ رَأْسَكَ، أَوْ قَالَ: احْلِقْ،
قَالَ: فِيَّ نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ:(فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ
بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ) إِلَى آخِرِهَا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صُمْ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ أَوْ تَصَدَّقْ بِفَرَقٍ بَيْنَ
سِتَّةٍ أَوِ انْسُكْ بِمَا تَيَسَّرَ[5]
Ka’b bin ‘Ujrah berkata, “Pada peristiwa Hudaibiyah,
Rasulullah saw berhenti di dekatku. Ketika itu kutu-kutu di kepalaku
berjatuhan. ‘apakah kutu-kutu di kepalamu itu mengganggumu?’ tanya beliau. ‘Ya,’
jawabku. Beliau bersabda, ‘Kalau begitu, cukurlah rambutmu!’-dalam riwayat
lain, ‘Bercukurlah!’Terkait diriku turunlah firman Allah, faman kana minkum
maridhan au bihi azan min ra’sih ... hingga akhir ayat. Rasulullah bersabda
setelah aku bercukur, ‘Sebagaimana dam atas bercukur itu, berpuasalah
selama tiga hari, atau bersedakahlah kepada enam orang sebanyak satu faraq-sekitar
6,5 kg; atau sembelihlah hewan yang engkau mampu.”
2. Kesimpulan dari Surat
Al-Baqarah Ayat 196
Kata
اَتِمُّوا mempunyai makna “sempurnakanlah”. Namun
para ulama mempunyai pendapat yang berbeda mengenai makna lafadz ini. pertama
ada yang mengartikanya dalam arti perintah melaksanakan haji dan umrah,
sebagaimana ditetapkan syariat dan dengan demikian hukum haji dan umrah adalah
wajib. Kedua mengartikan bahwa penyempurnaan itu bukan tentang hukum wajib atau
sunnahnya tetapi kesempurnaan keduanya dengan memenuhi rukun dan syaratnya
sebaik mungkin.[6]
Kandungan hukum dari ayat ini antara lain
adalah:
a.
Pelaksanaan haji
ada tiga macam, yaitu: Haji dikerjakan terlebih dahulu baru umrah (haji
ifraad). Ini adalah cara yang paling baik, oleh karena itu tidak ada denda
karena dilaksanakan sesuai dengan perintah aslinya. Mendahulukan umrah dulu
kemudian haji (haji tamattu’) Mengerjakan umrah terlebih dahulu yaitu
ihram dari miqat, thawaf-sa’i, dan tahallul.[7]
Maka ia telah bebas dari larangan selama ihram sampai waktu haji tiba (8,9 dan
10 Dzulhijjah). Haji ini dikenakan denda dengan menyembelih seekor domba atau
berpuasa 10 hari. tiga hari di Mekkah dan tujuh hari di kampung halaman. Haji
dikerjakan bersama umrah sekaligus dari miqat (haji qiraan). Barang
siapa menhgerjakan haji inipun wajib membayar denda.
b.
Rukun haji ada
enam, yaitu ihram, wukuf, thawaf, sa’i dan tahallul yang kesemuanya wajib
dipenuhi.
c.
Jika dalam keadaan
tertawan atau terkepung oleh musuh dan tidak dapat menyempurnakan haji, maka
diwajibkan menyembelih hadyu atau sembelihan dan dilarang mencukur rambut
sebelum hewan disembelih. Jika terpaksa mencukur rambut dikarenakan sakit maka
diwajibkan berpuasa tiga hari atau bersedekah dan berkurban.
d.
Jika dalam keadaan
aman dan tidak dapat menyempurnakan haji dikarenakan ada hakangan seperti sakit
dan sebagainya, maka diwajibkan menyembelih kurban atau berpuasa tiga hari di Mekkah
dan tujuh hari di kampung halaman.
B. Surat Al-Baqarah Ayat 197
اَلْحَجُّ
اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا
فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ يَّعْلَمْهُ
اللّٰهُ ۗ وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوْنِ
يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ
“(Musim)
haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barang siapa mengerjakan
(ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia berkata jorok (rafaš),
berbuat maksiat, dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala yang baik
yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya. Bawalah bekal, karena sesungguhnya
sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang
yang mempunyai akal sehat!” (al-Baqarah: 197)
1.
Asbab
Al-Nuzul Surat Al-Baqarah Ayat 197
Ayat
ini turun sebagai bentuk teguran terhadap kebiasaan jamaah haji dari Yaman yang
pada masa itu enggan membawa bekal. Akhirnya, sesampainya di Mekah mereka harus
meminta-meminta kepada jamaah yang lain guna memenuhi kebutuhan mereka.
· عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا
قَالَ: كَانَ أَهْلُ الْيَمَنِ يَحُجُّوْنَ وَلَا يَتَزَوَّدُوْنَ وَيَقُوْلُوْنَ:
نَحْنُ الْمُتَوَكِّلُوْنَ، فَإِذَا قَدِمُوْا مَكَّةَ سَأَلُوا النَّاسَ،
فَأَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى: (وَتَزَوَّدُوْا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى).[8]
Ibnu
Abbas ra berkata, “Dulu penduduk Yaman biasa berangkat haji tanpa membawa
bekal. Mereka berkata, ‘Kami adalah orang-orang yang bertawakal,’ Sampai di Mekah,
mereka pun terpaksa meminta minta kepada jamaah haji yang lain. Berkaitan
dengan hal ini, Allah menurunkan firman-Nya, wa Tazawwadu fa inna Khaira
al-Zadi al-Taqwa.”
2.
Kesimpulan Surat Al-Baqarah Ayat 197
Bekal
yang dimaksud ada dua macam. Pertama bekal materi sehingga masing-masing calon
tidak terganggu pikirannya atau resah jiwanya, tidak juga harus membuang air
mukanya dengan meminta-minta akibat kekurangan bekal, bahkan jamaah haji
dituntut agar dapat saling membantu dan saling memberi. Bekal kedua adalah
dalam bidang rohani.
Bekal
jenis kedua ini menuntut kesiapan mental, ilmu pengetahuan khususnya menyangkut
ibadah yang akan dilaksanakan, karena kesempurnaan haji bukan pada gerakan
fisiknya, tetapi pada kemantapan jiwa menghadap Allah swt.
Salah
satu yang amat penting untuk diketahui, ditegaskan oleh ayat ini, yaitu Maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Takwa,
yakni upaya menghindari siksa dan sanksi Tuhan, baik duniawi akibat pelanggaran
terhadap hukum-hukum Allah yang berlaku pada alam maupun ukhrawi akibat
pelanggaran hukum-hukum Allah yang ditetapkan-Nya dalam syariat.
Pesan
berbekallah maka sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, dapat juga
dipahami dalam arti berbekallah dan bertakwalah kepada Allah dalam menyiapkan
dan membawa bekal itu. Jangan jadikan bekal yang engkau persiapkan atau bawa merupakan hasil dari pelanggaran
atau harta yang haram. Jangan juga membawa bekal yang tidak dibenarkan Allah
atau peraturan yang ditetapkan pemerintah yang berwenang mengatur urusan
masyarakat, baik di tempat kamu maupun di tempat yang kamu tuju. Jangan juga
membawa bekal yang berlebihan sehingga mubazzir, atau mengakibatkan pemborosan.
Itu agaknya yang menjadi sebab sehingga pesan ini diakhiri dengan perintah
bertakwa sekali lagi, yaitu firman-Nya, dan bertakwalah kepada-Ku, wahai Ulu
al-Albab[9].
C.
Surat
Al-Baqarah Ayat 198
لَيْسَ
عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَبْتَغُوْا فَضْلًا مِّنْ رَّبِّكُمْ ۗ فَاِذَآ
اَفَضْتُمْ مِّنْ عَرَفٰتٍ فَاذْكُرُوا اللّٰهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ ۖ
وَاذْكُرُوْهُ كَمَا هَدٰىكُمْ ۚ وَاِنْ كُنْتُمْ مِّنْ قَبْلِهٖ لَمِنَ
الضَّاۤلِّيْنَ
“Bukanlah suatu dosa bagimu mencari karunia dari
Tuhanmu. Maka apabila kamu bertolak dari Arafah, berzikrilah kepada Allah di
Masy’arilharam. Dan berzikirlah kepada-Nya sebagaimana Dia telah memberi
petunjuk kepadamu, sekalipun kamu sebelumnya benar-benar termasuk orang yang
tidak tahu.” (Q.S. al-Baqarah: 198)
1.
Asbab
Al-Nuzul Surat Al-Baqarah Ayat 198
· عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا،
قَالَ: "كَانَتْ عُكَاظُ، وَمَجَنَّةُ، وَذُو المَجَازِ أَسْوَاقًا فِي
الجَاهِلِيَّةِ، فَتَأَثَّمُوا أَنْ يَتَّجِرُوا فِي المَوَاسِمِ، فَنَزَلَتْ:
{لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ} فِي مَوَاسِمِ الحَجِّ"[10]
Ibnu ‘Abbas ra berkata, “Ukaz, Majannah,
Zul-Majaz adalah beberapa nama pasar yang ada pada masa jahiliyah. Mereka (para
sahabat) khawatir berdosa apabila berjualan pada musim-musim haji. Karena Allah
menurunkan firman-Nya, laisa ‘alaikum junahun an tabtagu fadlan min_rabbikum –
bukanlah suatu dosa apabila kalian berjualan pada musim-musim haji”
·
وأخرج أحمد وابن
أبي حاتم وابن جرير والحاكم وغيرهم من طرق عن أبي أمامة التيمي قال قلت لابن عمر
إنا نكري فهل لنا من حج فقال ابن عمر جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه
وسلم فسأله عن الذي سألتني عنه فلم يجبه حتى نزل عليه جبريل بهذه الآية ليس عليكم
جناح أن تبتغوا فضلا من ربكم فدعاه النبي صلى الله عليه وسلم فقال أنتم حجاج[11]
2.
Kesimpulan
Surat Al-Baqarah Ayat 198
Tidak
ada dosa atas kamu, yakni kamu tidak berdosa mencari dengan
penuh kesungguhan, sebagaimana dipahami dari penambahan huruf ta’ pada
kata tabtaghu, selama yang dicari itu berupa anugerah dari Tuhanmu,
yakni berupa rezeki hasil perniagaan dan usaha halal lainnya dari Tuhanmu pada
musim haji. Namun demikian, kamu tetap harus berzikir mengingat Allah serta
mengingat tujuan ibadah haji, maka apabila kamu telah bergegas,
berduyun-duyun bertolak dari Arafah setelah Maghrib menuju ke Muzdalifah, berzikirlah
kepada Allah sejak berada di dekat Masy’ar al-Haram, yaitu bukit
Quzah di Muzdalifah.
Ayat
ini mengisyaratkan dua tempat perhentian. Persinggahan pertama adalah wukuf di
Arafah yang berlangsung dari siang (Zhuhur) sampai malam (Maghrib) dan
persinggahan kedua di Muzdalifah dari malam sampai siang. Persinggahan pertama,
yakni wukuf di Arafah adalah rukun, tidak sah haji bila ini ditinggalkan.
Sedang persinggahan kedua di malam hari, hukumnya wajib walau sekejap, bila
ditinggalkan mengharuskan pembayaran dam. Di kedua tempat itu, jamaah
haji diharapkan memperbanyak zikir.
Berzikirlah
kepada Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu;atau
disebabkan karena Dia telah memberi petunjuk kepada kamu.
Dalam
al-Qur’an dan melalui rasul-Nya Allah mengajarkan empat macam zikir, yaitu
dengan lidah melalui ucapan, dengan anggota tubuh melalui pengamalan, dengan
pikiran melalui perenungan yang mengantar kepada pengetahuan, serta denganhati
melalui kesadaran akan kebesaran-Nya yang menghasilkan emosi keagamaan dan
keyakinan yang benar. Zikir-zikir tersebut pada akhirnya harus membuahkan amal kebajikan.
Sesungguhnya
kamu
sekalian sebelum itu yakni sebelum datangnnya petunjuk Allah yang
disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. Termasuk keompok-kelompok orang yang
sesat, yakni tidak mengetahui jalan yang benar menuju ridha-Nya, serta
melaksanakan haji dan umrah tidak sesuai dengan yang diajarkan-Nya.[12]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kata
اَتِمُّوا mempunyai makna “sempurnakanlah”. Namun
para ulama mempunyai pendapat yang berbeda mengenai makna lafadz ini. pertama
ada yang mengartikanya dalam arti perintah melaksanakan haji dan umrah,
sebagaimana ditetapkan syariat dan dengan demikian hukum haji dan umrah adalah
wajib. Kedua mengartikan bahwa penyempurnaan itu bukan tentang hukum wajib atau
sunnahnya tetapi kesempurnaan keduanya dengan memenuhi rukun dan syaratnya
sebaik mungkin
2.
Bekal yang
dimaksud ada dua macam. Pertama bekal materi sehingga masing-masing calon tidak
terganggu pikirannya atau resah jiwanya, tidak juga harus membuang air mukanya
dengan meminta-minta akibat kekurangan bekal, bahkan jamaah haji dituntut agar
dapat saling membantu dan saling memberi. Bekal kedua adalah dalam bidang rohani.
Bekal jenis kedua ini menuntut kesiapan mental, ilmu pengetahuan khususnya
menyangkut ibadah yang akan dilaksanakan, karena kesempurnaan haji bukan pada
gerakan fisiknya, tetapi pada kemantapan jiwa menghadap Allah swt.
3.
Tidak ada dosa
atas kamu, yakni kamu tidak berdosa mencari dengan penuh
kesungguhan, sebagaimana dipahami dari penambahan huruf ta’ pada kata tabtaghu,
selama yang dicari itu berupa anugerah dari Tuhanmu, yakni berupa rezeki
hasil perniagaan dan usaha halal lainnya dari Tuhanmu pada musim haji. Namun
demikian, kamu tetap harus berzikir mengingat Allah serta mengingat tujuan
ibadah haji, maka apabila kamu telah bergegas, berduyun-duyun bertolak dari
Arafah setelah Maghrib menuju ke Muzdalifah, berzikirlah kepada Allah sejak
berada di dekat Masy’ar al-Haram, yaitu bukit Quzah di Muzdalifah.
DAFTAR PUSTAKA
As-Suyuthi, Jalaluddin. lubab an-Nuqul Fi Asbab
an-Nuzul. 2002. Libabon: Beirut.
Hanafi, Muchlis M. 2017. Asbabun Nuzul:
Kronologi dan Sebab Turun Wahyu Al-Qur’an. Jakarta: LPMQ.
Muqbil, Abu Abdirrahman. 2004. ash-Shohih al-Musnad Min Asbab an-Nuzul.
Yaman: Maktabah Shun’ai al-Atsariyyah.
Shihab, M. Quraish. 2013. Kaidah Tafsir: Syarat,
Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Al-Qur’an. Tangerang:
Lentera Hati.
Shihab, M. Quraish.. Tafsir al- Misbah Jilid I.
2017. Jakarta: Lentera Hati.
Zarkasyi, Imam. Fiqih 2. 1958. Ponorogo:
Trimurti Press.
[1] M. Quraish Shihab, Kaidah
Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami
Al-Qur’an, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 235.
[2] Muchlis
M. Hanafi, Asbabun Nuzul: Kronologi dan Sebab Turun Wahyu Al-Qur’an, (Jakarta:
LPMQ, 2017), Cet. II. Hal. 110.
[3] Sahih
al-Bukhariy,
al-Mujallid al-Tsalits, dalam al-‘Umrah, Bab Yaf’alu fii
al-‘Umrati maa Yaf’alu fii al-Hajji, hlm. 14, hadis nomor 1799.
[4] Sahih al-Bukhariy,
al-Mujallid al-Tsalits, dalam al-Muhshar wa Jazaa’u al-Shaydi, Bab
Qaulillahi Ta’ala: (au shadaqatin) wa Hiya It’amu Sittati Masakina, hlm.
28, hadis nomor 1825.
[5] Abu Abdirrahman Muqbil
Bin Hadi, ash-Shohih al-Musnad Min Asbab an-Nuzul, (Yaman: Maktabah
Shun’ai al-Atsariyyah, 2004), hlm. 35.
[6] M. Quraish Shihab,Tafsir
al- Misbah Jilid I ( Jakarta: Lentera Hati, 2017). hal. 520.
[8] Sahih
al-Bukhariy,
al-Mujallid al-Tsaniy, dalam Kitabu al-Hajji, Bab Qaulillahi
Ta’ala: (wa Tazawwadu fa inna Khaira al-Zadi al-Taqwa, hlm. 377, hadis
nomor 1536.
[9] M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), cet. V. hlm. 435.
[10] Jalaluddin as-Suyuthi,
lubab an-Nuqul Fi Asbab an-Nuzul, (Libabon: Beirut, 2002),hal. 38.
[12] M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), cet. V. hlm. 436.
Komentar
Posting Komentar