Langsung ke konten utama

MAKALAH TAFSIR AL-IBRIZ


MAKALAH TAFSIR AL-IBRIZ

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Perkembangan Tafsir di Indonesia
Dosen pengampu: Ansor Bahary, MA.



Disusun Oleh :
Ja’far Shodiq
Ahmad Mubarok Alyamamah

INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL – QURAN
ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
2020



BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., dengan berbahasa Arab sebagai petunjuk bagi manusia, menjadi penjelas bagi segala sesuatu yang mengetahui dan yang bersedia  mendengarkan.[1] Sebagai firman Allah SWT., al-Qur’an adalah media yang dijadikan alat komunikasi  Allah SWT., dengan manusia. Perintah, larangan, kabar gembira, kabar buruk, petunjuk Allah SWT., hanya dapat diketahui oleh manusia melalui firman-Nya. Inilah yang menjadikan al-Qur’an sebagai petunjuk penting dalam agama Islam.
Harus diingat, bahwa pemeluk agama Islam bukan hanya pada lokalitas tertentu yang mempunyai bahasa dan setting historis sama. Meskipun begitu, ketika al-Qur’an mendeklarasikan sebagai petunjuk dan rahmat seluruh alam, terutama bagi mereka yang bertaqwa (hudâ li al-mutaqîn), al-Qur’an turun dengan bahasa lokal di tempat ia diturunkan (bi lisân qawmihim), yakni komunitas masyarakan Arab.[2]
Pasca Nabi Muhammad SAW., meninggal dunia, al-Qur’an sudah tidak akan turun lagi dan telah selesai dibukukan, namun kandungan maknanya dipercaya tidak akan penah habis (sâlih li kull zamân wa al-makân), konsekwensinya disusunlah kitab-kitab tafsir sebagai “kepanjangan tangan” dari firman Allah yang sudah resmi dibukukan itu. Bagi orang beragama Islam, utusan Allah boleh saja mati, firman Allah boleh saja terhenti, namun kandungan maknanya tidak boleh ikut-ikutan selesai. Bagaikan pelita, ia harus selalu memancarkan cahaya. Kandungan makna firman Allah itulah yang dieksplorasi seluas-luasnya oleh kitab-kitab tafsir.
Kerja menafsirkan ayat al-Qur’an membutuhkan usaha kreatif akal untuk menyingkap (al-kashf), menerangkan (al-idâh), dan menjelaskan (al-ibânah) makna yang tersembunyi di balik untaian kosakata Arab sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah sebatas kemampuan manusia.[3] Penafsir, siapapun dia, selalu bertolak dari teks firman Allah SWT., seraya mencurahkan kemampuannya untuk menggali kedalaman maknanya. Artinya penafsir selalu berangkat dengan keyakinan bahwa teks al-Qur’an itu penting, tidak bisa bicara sendiri dan perlu diartikulasikan, sehingga ia berani bersusah payah untuk menggali sampai dapat mengeluarkan interpretasi dari teks tersebut. Adapun isi penafsiran, apakah bersumber pada makna teks, proses dialogis antara akal penafsir dan teks, atau malah ekspresi penafsir sendiri adalah soal nomer dua, sebab menafsirkan artinya adalah memaksa nalar untuk bekerja dengan bertolak dari teks. Oleh karena itu, warna-warni penafsiran sepenuhnya di bawah otoritas penafsir sendiri. Tidak akan ada jaminan, garansi, atau servis gratis dari Allah SWT.
Warna-warni penafsiran al-Qur’an ini dipastikan akan terus mengalami perkembangan dengan mengandaikan adanya prinsip-prinsip metodologis yang digunakan setiap penafsir dalam memahami teks al-Qur’an, sebab karya tafsir yang notabene hasil olah pikir penafsir ketika berinteraksi dengan teks al-Qur’an tidak pernah bisa dilepaskan dari tujuan, kepentingan, tingkat kecerdasan, disiplin ilmu yang ditekuni, pengalaman, penemuan-penemuan ilmiah dan situasi sosial-politik di mana sang penafsir hidup.[4] Ini artinya, produk penafsiran merupakan representasi semangat zaman di mana seorang penafsir menyejarah, tak terkecuali literatur tafsir produksi KH. Bisri Musthofa (1915-1977 M) yang diberi judul al-Ibriz li Ma’rifat Tafsir al-Qur’an al-Aziz.
BAB II
A.  Biografi Singkat Kiai Bisri Mustofa
KH. Bisri Musthofa, orang mengenalnya dengan Mbah Bisri Rembang, bukan Mbah Bisri Syansuri Jombang atau pendiri NU. KH. Bisri Musthofa tinggal di Pondok Raudlat al-Thalibin Leteh Rembang kota. Nama KH. Bisri tidak bisa dilupakan oleh generasi enam puluhan. Serpihan-serpihan cerita yang masih lekat mengatakan bahwa KH. Bisri Musthofa terkenal sebagai singa podium. Pada pemilu tahun 1977, kedahsyatan orasinya dapat menguras air mata massa dan sekejap kemudian membuka mulut mereka untuk terpingkal-pingkal bersama di depan panggung tempat ia menyampaikan pidato kampanye.
KH. Bisri Musthofa dilahirkan di desa Pesawahan, Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 1915 dengan nama asli Masyhadi. Nama Bisri ia pilih sendiri setelah kembali menunaikan ibadah haji di kota suci Mekah. Ia adalah putra pertama dari empat bersaudara pasangan H. Zaenal Musthofa dengan isteri keduanya yang bernama Hj. Khatijah. Tidak diketahui jelas silsilah kedua orangtua KH. Bisri Musthofa ini, kecuali dari catatannya yang menyatakan bahwa kedua orangtuanya tersebut sama-sama cucu dari Mbah Syuro, seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai tokoh kharismatik di Kecamatan Sarang. Namun, sayang sekali, mengenai Mbah Syuro ini pun tidak ada informasi yang pasti dari mana asal usulnya.[5]
KH. Bisri Musthofa lahir dalam lingkungan pesantren, karena memang ayahnya seorang kiai. Sejak umur tujuh tahun, ia belajar di sekolah Jawa “Angka Loro” di Rembang. Di sekolah ini, Bisri tidak sampai selesai, karena ketika hampir naik kelas dua ia terpaksa meninggalkan sekolah, tepatnya diajak oleh orangtuanya menunaikan ibadah haji di Mekah. Rupanya, inilah masa di mana beliau harus merasakan kesedihan mendalam karena dalam perjalanan pulang di pelabuhan Jedah, ayahnya yang tercinta wafat setelah sebelumnya menderita sakit di sepanjang pelaksanaan ibadah haji.[6]
Sepulang dari tanah suci, Bisri sekolah di Holland Indische School (HIS) di Rembang. Tak lama kemudian ia dipaksa keluar oleh Kiai Cholil dengan alasan sekolah tersebut milik Belanda dan kembali lagi ke sekolah “Angka Loro” sampai mendapatkan serifikat dengan masa pendidikan empat tahun. Pada usia 10 tahun (tepatnya pada tahun 1925M), Bisri melanjutkan pendidikannya ke pesantren Kajen, Rembang. Pada tahun 1930M, Bisri belajar di pesantren Kasingan (tetangga desa Pesawahan) pimpinan Kiai Kholil.
Di usianya yang kedua puluh, Bisri dinikahkan Kiai Kholil dengan seorang gadis berusia 10 tahun bernama Ma’rufah, yang tidak lain adalah putrinya sendiri. Belakangan diketahui, inilah alasan Kiai Kholil tidak memberikan izin kepada Bisri untuk melanjutkan studi ke pesantren Termas yang waktu itu diasuh Kiai Dimyati. Setahun setelah menikah, Bisri berangkat lagi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji bersama-sama dengan beberapa anggota keluarga dari Rembang. Namun, seusai haji, Bisri tidak pulang ke tanah air, melainkan memilih bermukim di Mekah dengan tujuan menuntut ilmu di sana.
Di Mekah, pendidikan yang dijalani Bisri bersifat non-formal. Ia belajar dari satu guru ke guru lain secara langsung dan privat. Di antara guru-gurunya terdapat ulama-ulama asal Indonesia yang telah lama mukim di Mekah. Dua tahun lebih Bisri menuntut ilmu di Mekah. Bisri pulang ke Kasingan tepatnya pada tahun 1938 atas permintaan mertuanya. Setahun kemudian, mertuanya (Kiai Kholil) meninggal dunia. Sejak itulah Bisri menggantikan posisi guru dan mertuanya itu sebagai pemimpin pesantren.

B.  Metode Tafsir al-Ibriz
            Para peneliti al-Qur’an dan tafsir berbeda pendapat dalam merumuskan metode penafsiran al-Qur’an. Ada yang mengklasifikasi menjadi bi ar-Ra’yi, bi al-ma’sur, dan isyari seperti yang dilakukan as-Shobuni,[7] dan ada yang mengklasifikasi menjadi ijmali (global), tahlili (analitis), dan maudu’I (tematik) muqaran seperti yang dilakukan oleh al-Farmawi.[8] Dalam sebuah kitab tafsir sangat sulit untuk hanya menggunakan satu metode saja, melainkan bisa memiliki lebih dari satu metode. Tafsir al-Ibriz pun tampaknya juga demikian, tidak hanya menggunakan satu metode saja. Ada tiga metode yang dominan dalam al-Ibriz, yaitu bi ar-Ra’yi, bi al-Ma’sur, dan muqaran. Meskipun demikian, hal itu bukan merupakan inkonsistensi metodelogi, melaikan harus dipahami bahwa dalam sebuah kitab tafsir akan sangat sulit hanya menggunakan satu metode saja secara utuh. Pada kenyataannya, ada ayat-ayat yang memang perlu dicari asbab an-Nuzul maupun riwayat, sehingga membutuhkan penalaran untuk bisa mendekatinya yang dalam hal ini tentu saja membutuhkan metode bi ar-Ra’yi. Begitu pula ada ayat-ayat yang hanya bisa dipahami secara menyeluruh jika dikomparasikan dengan ayat-ayat lain dan juga hadist, bahkan antarpendapat mufassir.
Metode bi ar-Ra’yi merupakan metode yang paling dominan dalam tafsir al-Ibriz, karena pada kenyataannya sangat banyak ayat yang sama sekali tidak terkait dengan ayat tertentu, dan tidak bisa dipahami secara komprehensif tanpa menyertakan ijtihad. Di sinilah Bisri menekankan adanya penggunaan ra’yu atau pemikiran untuk mendekati ayat tersebut.
Disamping metode bi ar-Ra’yi, metode bi al-Ma’sur juga banyak digunakan oleh Bisri. Hal ini selain sejalan dengan prinsip Bisri, juga karena memang pada kenyataannya ada ayat-ayat al-Qur’an yang tidak bisa dipahami atau akan menimbulkan pemahaman yang salah jika tanpa diketahui riwayat yang berkaitan dengan ayat tersebut.
Metode lain yang juga muncul dalam tafsir al-Ibriz adalah muqaran. Metode ini digunakan karena memang ada ayat-ayat yang baru bisa dipahami secara komprehensif setelah dibandingkan dengan ayat-ayat lain maupun hadist yang bertema sama, begitu juga pendapatan Sahabat. Di sinilah perlu adanya penggunaan metode muqaran.
C.  Makna Gandhul dan Aksara Pegon
            Seperti diketahui, tafsir al-Ibriz ditulis dengan bahasa Jawa berhuruf Arab atau disebut aksara Pegon. Tafsir al-Ibriz juga menggunakan makna gandhul atau dalam istilah pesantren sering disebut sebagai manka utawi. Penggunaan aksara Pegon dan makna gandhul merupakan suatu yang lazim di kalangan pesantren tradisional, bahkan menjadi cirri tersendiri. Namun penelitian tentang huruf Pegon dan makna gandhul sangat terbatas. Penelitian tentang pesantren tradisioanal kebanyakan membahas kitab yang dikaji dipesantren, antropologi pesantren, dan genealogi intelektual pesantren.
            Makna gandhul yang dimaksud di sini adalah penerjemahan teks berbahasa Arab kata per kata dengan cara menuliskan terjemahannya tepat di bawah kata yang bersangkutan menggunakan huruf Arab. Makna gandhul di lingkungan pesantren biasanya memiliki kode-kode tertentu yang merupakan bagian dari analisis bahasa Arab. Misalnya kata utawi yang bisa disingkat dengan huruf mim yang diletakkan di bagian atas atas kata (arab) yang diterjemahkan, berarti menandakan bahwa posisi kata tersebut sebagai mubtada’ (subjek kalimat). Demikian pula kata iku (khabar atau predikat), sopo (fa’il, predikat), apane (tamyiz), dan sebagainya.
Aksara Pegon adalah tulisan berbahasa Jawa menggunakan huruf Arab. Perbedaan antara aksara Pegon tidak mesti menggunakan kode-kode di atas yang bisa dijadikan sebagai alat analisis gramatikal bahasa Arab. Naskah-naskah beraksara Pegon yang ditulis sebelum abad ke-19 tidak menggunakan makna gandhul. Naskah-naskah yang ditulis oleh Kiai Ahmad Rifa’I (1786-1870) dari Kalisalak, Batang, Jawa Tengah, belum menggunakan makna gandhul.
Makna gandhul pertama kali diperkenalkan oleh Muhammad Shalih bin Umar as-Samarani atau yang dikenal sebagai Kiai Sholeh Darat (1820-1903).[9] Hampir semua karya Kiai Sholeh Darat ditulis dengan makna gandhul , dan sejauh ini Kiai Sholeh Darat telah dianggap sebagai penulis yang pertama kali menggunakan makna gandhul.
Selain di Jawa dan Madura, makna gandhul juga ditemukan di Pesantren-pesantren di daerah Sunda. Di sini model ini disebut ngalogat. Ngalogat pertama kali dikenalkan oleh Ajeng Ahmad Dimyati pada tahun 1910.[10] Pada abad ke-19 pesantren di daerah Sunda menggunakan bahasa Jawa dalam pengajian kitab kuning. Ajengan Ahmad Dimyati mengadopsi makna gandhul berbahasa Jawa tersebut ke dalam bahasa Sunda yang kemudian disebut dengan ngalogat.
Sejauh ini, makna gandhul dan huruf Pegon selalu digunakan beriringan. Makna gandhul biasa digunakan untuk mengartikan atau menerjemahkan teks-teks Arab, sedangkan huruf Pegon biasa digunakan untuk men-syarah atau member penjelasan kandungan teks-teks Arab.
Dalam tafsir al-Ibriz ayat-ayat al-Qur’an diterjemahkan atau diartikan kata perkata disertai kedudukan masing-masing sesuai gramatika bahasa Arab. Makna perkata itu ditulis miring ke bawah, persis di bawah redaksi ayat. Adapun uraian tafsir ditulis dengan aksara Pegon di tepi halaman.
Dalam tradisi pesantren, pengajian kitab klasik merupakan elmen yang tak terpisahkan dari pesantren itu sendiri. Ada dua model dalam pengajaran kitab klasik, yaitu sorogan dan bandongan. Keduanya menggunakan makna gandhul dan aksara Pegon. Orientasi dari pengajaran tersebut adalah agar santri bisa memahami agama langsung dari sumber asli berbahasa Arab. Sampai sekarang, meskipun kebanyakan pesantren telah memasukkan pengetahuan umum sebagi bagian dari pendidikannya, namun pengajaran kitab klasik tetap diberikan, meskipun dalam porsi yang lebih sedikit dibanding yang diberikan di sekolah diniyah. Ketika mengajarkan kitab-kitab klasik di sekolah umum milik pesantren, para guru masih setia menggunakan makna gandhul. Upaya ini dilakukan untuk meneruskan tujuan utama pesantren untuk mendidik calon Ulama yang setia pada faham Islam tradisional. Kelak para santri yang menjadi Ulama atau tokoh sgsms di Kampung halamannya pun akan setia mengunakan makna gandhul ketia membacakan kitab-kitab keagamaan, baik kepada santri maupun kepada masyarakat umum. Dalam pengajian kitab, seorang Kiai tidak hanya membacakan teks dengan model makna utawi saja, tetapi juga memberikan penjelasan dan pandangan. Makna gandhul atau makna utawi  selain lazim ditemukan di daerah-daerah  basis Pesantren tradisional, saat ini juga ditemukan dalam  kelompok-kelompok kecil di sekitar Solo Raya.[11]
D.    Bahasa yang Berhierarki
            Selain Pegon dan makna gandhul, karakteristik lain dalam tafsir al-Ibriz adalah penggunaan bahasa yang berhierarki. Hierarki bahasa dalam Tafsir al-Ibriz li Ma’rifah Tafsir al-Qur’an al-Aziz” mengulas hierarki bahasa atau speech level bahasa Jawa yang digunakan dalam tafsir al-Ibriz.[12] Orang Jawa dalam melakukan inter-relasi dan komunikasi terikat oleh nilai-nilai budaya Jawa yang disebut tata ungguh-ungguh yang disesuaikan dengan kedudukan dan derajatnya. Dalam komunikasi itu paling tidak ada tiga pihak yang dilibatkan, yaitu penutur, lawan tutur, dan pihak lain yang menjadi objek tuturan. Dalam konsep ungguh-ungguhing basa, pihak-pihak tersebut dapat mempengaruhi munculnya perbedaan bentuk tuturan dalam berbahasa yang disebabkan oleh status masing-masing dalam hubungan komunikasi.
            Selain bahasa yang berhierarki penggunaan istilah kanjeng untuk menyebut Nabi Muhammad SAW menjadi ciri khas tersendiri di kalangan masyarakat pesantren tradisional, bahkan menjadi semacam orientasi ideologis tersendiri. Di berbagai kesempatan dalam tafsir al-Ibriz dan juga dalam semua karyanya Bisri selalu menggunakan istilah kanjeng untuk menyebut Nabi SAW. Bagi Bisri yang berlatar belakang pendidikan pesantren tradisional sebutan kanjeng penting untuk digunakan karena dianggap sebagai bagian dari penghormatan, bahkan pengagungan terhadap Nabi Muhammad SAW. Kata kanjeng sendiri sebetulnya merupakan terjemahan dari kata Sayyid. Penggunaan kata Sayyid.
E.     Penentangan Terhadap Antropomorfisme
            Antropomorfisme (tajsim) adalah pandangan teologis yang menganggap bahwa Tuhan memiliki jasad dan anggota tubuh seperti wajah, tangan, mata, dan sebagainya, serta melakukan aktivitas jasad seperti berposisi, bersemayam, naik, turun, serta datang layaknya manusia. Dalam penjelasan surah as-Sajadah 32:4 Bisri tidak ingin terjebak dalam Antropomorfisme tentang Tuhan. Antropomorfisme adalah suatu yang harus dihindari, karena dianggap bertentangan dengan sifat Tuhan. Antropomorfisme dianggap menyamakan Tuhan dengan makhlukNya. Oleh karena itu, ketika bertemu ayat-ayat Antropomorfisme Bisri cenderung menggunakan ta’wil dari pada menggunakan makna harfiyah. Dalam menafsirkan surah al-Fajar 89:22 Bisri menjelaskan:
“Janganlah seperti itu (ingat-ingatlah). Nanti jika bumi sudah digonjang-ganjingkan, firman Tuhan telah datang, malaikat-malaikat telah berbaris, neraka jahanam pun telah digelar. Di hari itulah manusia baru sadar. Apa guna sadar di hari itu? Sudah tak ada gunanya”.
Ayat 22 surat al fajr itu oleh Syaamail Qur’an Hijaz Terjemahan Tafsir Perkata diterjemahkan ”Dan datanglah Tuhanmu, dan malaikat berbaris-baris”. Namun oleh Bisri kata Rabbaka yang makna harfiahnya adalah Tuhanmu, ditafsirkan sebagai “Firman” Tuhan (dawuhe Pengeran). Bahkan dalam terjemahan ayatnya, Bisri pun tidak mengartikan kata Robbaka  sesuai dengan makna harfiahnya “Tuhan”, tetapi diartikan perkara Tuhanmu (perkorone Pangeran iro), yang berarti di sini  sudah merupakan bentuk ta’wil. Jelas sekali hal ini  memperlihatkan bahwa Bisri tidak mau terjebak dalam Antropomorfisme.
F.     Al-Qur’an sebagai Penyelesai Masalah Kehidupan Sehari-hari.
            Ayat-ayat al-Qur’an seringkali dijadikan sebagai doa untuk berbagai kebutuhan hidup dan sebagai obat. Begitu juga seorang Kiai dalam pandangan masyarakat tradisional sering kali dianggap sebagai figur sentral. Kiai hanya menjadi pembimbing masalah keagamaan, tetapi juga seringkali dianggap sebagai pemimpin, dan juga orang yang dianggap mampu menguraikan sebagai permasalahan kehidupan sehari-hari, yang dalam istilah woodward dianggap sebagai sumber berkah -perantara- oleh masyarakatnya.[13]
            Sebagai seorang Kiai yang muncul dan berada di tengah masyarakat tradisional, Bisri menyadari penuh tanggung jawabnya sebagai Kiai. Dia tidak hanya al-Qur’an sebagai petunjuk, namun juga sebagai jawaban bagi masalah praktis kehidupan sehari-hari. Ketika menafsirkan tiga ayat terakhir surah al-Baqarah/2, dia memberikan faidah sebagai berikut, ”Ada hadist yang menyatakan seperti ini: “Siapa saja membaca tiga ayat terakhir surah al-Baqarah/2 ini…, setan tidak akan berani mendekati rumah orang yang membaca tadi selama tiga hari”.
            Kutipan di atas jelas sekali menunjukkan bahwa al-Qur’an dalam pandangan Bisri tidak hanya dijadikan sumber hukum, tetapi juga sebagai solusi masalah kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini digunakan untuk menolak gangguan setan.
            Meskipun ketika menafsirkan surah al-Isra’/17:82, dia tidak menafsirkan kata Syifa’ sebagai obat atau penyembuh fisik, tetapi obat dari kesesatan, namun di berbagai kesempatan dia sering menjadikan ayat al-Qur’an sebagai obat untuk suatu penyakit.



BAB III
KESIMPULAN
            Karakteristik yang ditemukan dalam Tafsir al-Ibriz pada dasarnya merupakan perwujudan dari tradisi pesantren tradisional yang muncul dalam sebuah kitab tafsir. Hal ini menjadi istimewa, karena selain tidak ditemukan dalam tafsir-tafsir berbahasa Indonesia, atau bahkan bebahasa Arab, hal itu sekaligus mempertegas bahwa muslim tradisional selalu berupaya mempertahankan identitas mereka, bukan hanya dalam satu subtansi-seperti masalah antropomorfisme serta pandangan mereka terhadap al-Qur’an-tetapi bahkan dalam hal format penulisan, yaitu penggunaan makna ghandul dan huruf Pegon, serta penggunaan bahasa yang berhierarki.



DAFTAR PUSTAKA

Jalaluddin as-Syuyuti, al-Itqan Fi Ulumil Qur’an, Juz. 2. Kairo: Dar as-Salam, 2008.
Abd al-Azim, Muhammad. Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, Juz. 2. Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2009.
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia Bandung: Mizan, 1999.
Saifuddin Zuhri, PPP, NU, dan MI: Gejolak Wadah Politik Islam. Integrita Press, 1983.
Ali as-Shobuni, Muhammad. at-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an. Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2003.
al-Farmawi, Abd. Al-Hayy. Metode Tafsir Maudu’i. terj. Suryan A. Jamrah. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
Nur Ichwan, Moch. “Negara, Kitab Suci, dan Politik Terjemahan Resmi al-Qur’an di Indonesia” dalam Henri Chamert-Loir: Sejarah Terjemah di Indoneisa dan Malsyia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009.
Ricklefs, M.C. Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai sekarang. Jakarta: Serambi, 2013.
Wahidi, Hierarki Bahasa dalam Tafsir al-Ibriz li Ma’rifah Tafsir al-Qur’an al-Aziz. Suhuf, Vol. 8, no.1, 2015.
Mark R. Woodwaard, Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, ter. Hairus Salim HS. Yogyakarta: LKis, 2008.



[1]al-Qur’an surah Fussilat/41: 3-4.
[2] Jalaluddin as-Syuyuti, al-Itqan Fi Ulumil Qur’an, Juz. 2 (Kairo: Dar as-Salam, 2008), hlm. 174.
[3] Muhammad Abd al-Azim al-Zarqani, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, Juz. 2 (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2009),hlm. 265.
[4] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 77.
[5]Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 85.
[6]Saifuddin Zuhri, PPP, NU, dan MI: Gejolak Wadah Politik Islam (Integrita Press, 1983), hlm. 24.
[7] Muhammad Ali as-Shobuni, at-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2003), hal. 67.
[8] Abd. Al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudu’i. terj. Suryan A. Jamrah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal.11.
[9] Moch Nur Ichwan, “Negara, Kitab Suci, dan Politik Terjemahan Resmi al-Qur’an di Indonesia” dalam Henri Chamert-Loir: Sejarah Terjemah di Indoneisa dan Malaysia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 416.
[10] Henri Chamert-Loir: Sejarah Terjemah di Indoneisa dan Malaysia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 364.
[11] M.C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai sekarang, (Jakarta: Serambi, 2013) hlm. 300.
[12] Wahidi, Hierarki Bahasa dalam Tafsir al-Ibriz li Ma’rifah Tafsir al-Qur’an al-Aziz. Suhuf, Vol. 8, no.1, 2015, hlm.141-160.
[13] Mark R. Woodwaard, Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, ter. Hairus Salim HS, (Yogyakarta: LKis,2008), hlm. 211-212.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH ASBAB Al-NUZUL SURAT AL-BAQARAH AYAT 196, 197, DAN 198

MAKALAH ASBAB Al-NUZUL SURAT AL-BAQARAH AYAT 196, 197, DAN 198 Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Asbab al-Nuzul Dosen Pengampu: Dr. Zaenal Arifin Madzkur, MA Disusun Oleh: Ja’far Shodiq Majdi Hafizhur Rahman INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL–QUR’AN JAKARTA PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN 2019 BAB I PENDAHULUAN A.   Latar Belakang Ada banyak bingkai ilmu untuk memahami dan menafsirkan al-Qur’an. Dalam ulumul qur’an misalnya, ada sederet bab tentang bermacam-macam prinsip keilmuan dalam al-Qur’an. Salah satunya adalah Asbab al-Nuzul , Quraish Shihab dalam bukunya “Kaidah Tafsir” mengutip tentang definisi asbabun nuzul yang populer di kalangan ulama yaitu berbagai peristiwa yang terjadi semasa turunnya ayat al-Qur’an, baik peristiwa tersebut terjadi sebelum maupun sesudah turunnya ayat dan dimana peristiwa tersebut berkaitan atau dapat juga dikaitkan dengan peristiwa tersebut. [1...
Hai yogya? Bagaimana kabarmu? Iya, kamu.. Kamu tempat kelahiranku Kamu yang membesarkanku Kamu yang menjadi guruku Kamu yang selalu ku rindu Kamu yang selalu ku cinta Kamu yang selalu ku bangga Kamu yang selalu mengingatkanku, Bahwa sejauh kemanapun aku pergi, Kamulah tempatku kembali...