Langsung ke konten utama

TAFSIR TINJAUAN AL-QUR’AN PERBUATAN ZINA


TAFSIR TINJAUAN AL-QUR’AN PERBUATAN ZINA
Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir Maudhu’i Ahkam
Dosen Pengampu : Andi Rahman, MA




Disusun oleh :
Didiek Srimulya Ahmad
Izzat Zaini
Ja’far Shadiq



INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QUR’AN
ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
2020

BAB I
PENDAHULUAN
              A.    Latar Belakang           
Para ulama berpendapat bahwa banyak ragam zina. Misalnya, ada zina mata, yaitu memandang kepada lawan jenis yang bukan mahram. Kendati demikian, dari segi pandangan hukum, zina dihukumi haram. Karena pada prinsipnya zina adalah “pertemuan dua alat kelamin yang berbeda sebelum kedua pemiliknya diikat oleh akad nikah dan bukan juga karena adanya syubhat”.
Pendapat ini merupakan pendapat yang umum dikalangan jumhur ulama meskipun masih terjadi perbedaandi antara mereka ketika akan menetapkan hukuman pembuangan bagi yang belum pernah kawin.
Menurut ulama tafsir, Allah Swt melarang keras yang namanya perbuatan zina dan mendekatinya yaitu melakukan hal-hal yang menjerumuskan diri mereka ke dalam perbuatan zina. Firman Allah ta’ala “Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sesungguhnya perbuatan keji.” [32] Artinya dosa besar, “Dan suatu jalan yang buruk.” [32] jalan yang paling buruk.
Ayat Al-quran selalu menjelaskan penuh kandungan dengan ketetapan hukum yang bersifat pasti, salah satunya ialah yang disebut oleh ayat yaitu perempuan pezina yang gadis dan laki-laki pezina masih jejaka. Penggunaan kata ini dengan penuh patron dan makna kemantapan karena kelakuan itu ada pada yang bersangkutan. Di luar sana kebanyakan perempuan menjadikan profesi dibandingka laki-laki, dengan ketentuan ini Allah menghukum mereka bagi para pezina dengan beberapa cambukan jika kesalahannya benar-benar terbukti. Jika kamu berimana kepada Allah dan hari akhir, maka laksanakanlah ketetapan Allah ini dengannya konsekuensinya atas perbuatanmu.

           B.     Rumusan Masalah
1.      Klasterisasi ayat zina
2.      Pengertian Zina
3.      Ayat zina dan artinya
4.      Tafsir ayat zian
5.      Asbabun nuzul-nya ayat zina
6.      Kategori zina
7.      Unsur perbuatan zina
8.      Jenis zina
9.      Pengertian Qadzaf dalam perzinahan


BAB II
PEMBAHASAN
         A.    Klasterisasi Ayat
Di bawah ini adapun beberapa surat yang mengungkap tentang (ayat) perzinahan zina (زنى), dengan berbagai bentuk perubahan katanya :
{ زني }
يزنون . يزنين . الزاني
الا با لحق ولا يزنون               68           فر
ولا يسرقن ولا يزنون              13           مت
  ولا تقربوا الزن      32          سر
زانية : الزاني : الزانية              زان :
الزانية و الزني فاجالدوا        2             ور
الزاني لا ينكح الا زانية او مشركة و الزانية لا ينكحها الا زانٍ او مشرك[1]          3             --
          B.     Pengertian  Zina
ZINA : Kata Zina berasal dari kata ز ن ي , zai nun ya’. Yang bearati berbuat zina atau melakukan behubungan badan tanpa ada ikatan yang sah menurut agama (hukum Islam). Dalam bahasa Arab, terdapa dua versi mengenai penulisan kata zina. Pertama, kata zina (زنا) dengan ali mamduhah (alif tegak). Kedua, zina (زنا) dengan alif layyinah (alif bengkok).
Zana – yazni – zinan (زَنَى – يَزنِي – زِنًا) merupakan penulisan dengaan alif layyinah, sedangkan zana – yazni – zinan(زَنَا – يَزنِي – زِنًا)  adalah penulisan dengan alif mamduhah. Dari zai, nun,dan  ya terbentuk kata-kata zana – yuzani – muzanaH – zina’an (زَانى – يزانى – مزاناة –        وزناء) menurut Al-Lihyani, penulisan dengan ali layyinah seperti zina berasal dari penduduk Hijaz, sedangkan penulisan dengan ali mamduhah seperti zina’an adalah dari Bani Tamim. Akan tetapi, di dalam kitab Ash-Shahhah dijelaskan bahwa zina’an dengan alif tegak berasal dari penduduk Najed.[2]
Secara harfiah zina berarti al-fahisyah atau sesuatu yang keji. Secara terminologis, ulama telah memberikan beberapa definisi zina, di antaranya sebagai berikut:
1.      Menurut Madzhab Maliki, zina ialah persetubuhan seorang mukallaf dalam faraj manusia yang bukan kepunyaannya menurut kesepakatan (para ulama) secara sengaja.
2.      Menurut Madzhab Hanafi, zina ialah persetubuhan laki-laki dengan seorang wanita difaraj yang bukan miliknya dan tanpa keraguan memilikinya.
3.      Menurut Madzhab Syafi’I, zina ialah memasukkan zakar ke dalam faraj yang di haramkan zatnya, bebas dari syubhat dan dengan bernafsu.
4.      Menurut Madzhab Hambali, zina ialah perbuatan keji di qubul (kemaluan) dan dubur.
5.      Menurut M. Nrul Irfan, zina ialah hubuungan badan yang diharamkan (di luar hubungan pernikahan) dan disengaja oleh pelakunya.[3]
6.      Menurut Taqiyuddin al-Husaeni dalam kitabnya kifayah al-akhyar, sebagaimana dikutip oleh Amran Suadi dan Mardi Candra, zina adalah perbuatan melakukan hubungan seksual secara haram di luar ikatan perkawinan yang sah yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan yang telah mukallaf dan tidak ada syubhat di dalamnya. Hubungan seksual dimaksud dalamm definisi di atas haruslah dalam arti yang sebenarnya yaitu masuknya kelamin laki-laki (zakar) ke dalam alat kelamin perempuan (faraj).

          C.     Kumpulan Ayat Zina dan Artinya
a)      Surat An-Nur : 2-3

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ 

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera


الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ ۚ وَحُرِّمَ ذَٰلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ


Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.


b)      Surat Al-Mumtahanah : 12

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَىٰ أَنْ لَا يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا يَسْرِقْنَ وَلَا يَزْنِينَ وَلَا يَقْتُلْنَ أَوْلَادَهُنَّ وَلَا
يَأْتِينَ بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَأَرْجُلِهِنَّ وَلَا يَعْصِينَكَ فِي مَعْرُوفٍ ۙ فَبَايِعْهُنَّ وَاسْتَغْفِرْ لَهُنَّ اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

c)      Surat Al-Isra : 32
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا


Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.

d)      Surat Al-Furqan : 68


وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ يَلْقَ أَثَامًا

Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya),



         D.    Tafsir Ayat Zina
a)      Tafsir Surat An-Nur
Menurut Bahtiar Surin. Perzinaan adalah sumber beberapa kejahatan, seperti merusak keturunan, hubungan kemasyarakatan dan sebagainya. Mendekati saja sudah haram apalagi kalau sampai mengerjakannya, na’udzubillah.[4]
Zina adalah persentuhan dua kelamin dari jenis yang berbeda dan yang tidak terikat oleh akad nikah atau kepemilikan, dan tidak juga disebabkan oleh syubhat.
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ 



Adapun alasan Allah memulai kalimat pezina itu didahulukan perempuan karena kebanyaan perilaku zina memang identik dengan perempuan. Dan dampak perzinaan itu lebih besar efeknya kepada perempuan disbanding laki-laki serta dosanya pun sangat buruk sekali. Ketika perempuan itu sudah baik perilakunya lalu mengotori dirinya dengan perzinaan bersama laki-laki, maka perbuatan itu dapat merusak nasab/keturunannya dan mencoreng nama baik keluarga. Kemudian aib si perempuan akan terbuka ketika perempuan itu hamil.
Lalu alasan Allah memilih kata Fajlidu bukan fadhribu adalah untuk mengisyaratkan bahwasanya yang dimaksud ialah ada batasan dalam memukul sehingga tidak terlalu sakit. Imam Al-Alusi berkata rahasia mendahulkan kata Azzaniyah dalam permulaan ayat bahwasanya kata pertama itu menjelaskan akibat dari perzinaan yang asalnya dari perempuan yang melakukannya dengan sukarela.
Dalam Tafsirnya Al-Alusi berkata bahwa zina itu berkembang pesat dan perempuan ada di dalamnya sebagai pengaruh yang besar. Maka ketika perempuan keluar rumah dengan berhias untuk memancing gairah para lelaki. Dan memakai wangi-wangian dan pakaian yang seksi hingga menyebabkan fitnah.
·         Tinjauan Bacaan Menurut Ulama Qiroat
Ulama membaca Azzaniyatu membacanya dengan rafa’ dan sebagian membacanya dengan nasab. Az-Zujaj berkata rafa’ itu lebih kuat kedudukannya dalam Bahasa Arab karena maknanya “Barangsiap a yang berzina maka harus dicambuk”. Karena mentakwilkan ayat ini dialah yang memulai. Boleh dibaca nasab tapi memaknainya dengan “Cambuklah pezina perempuan tersebut”[5]
b)      Tafsir Surat Al-Furqan : 68
وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ يَلْقَ أَثَامًا
 Ayat di atas menyatakan: dan di samping sifat-sifat terpuji Allah yang disandang oleh hamba-hamba Allah itu, mereka juga terhindar dari sifat-sifat tercela. Mereka adalah orang-orang yang memurnikan Tauhid, yang tidak menyembah dan bermohon kepada Tuhan yang lain bersama Allah baik secara terang-terangan dalam bentuk menyekutukan-nya maupun dalam bentuk tersembunyi, dalam bentuk pamrih dan tidak tulus kepadanya, dan di samping itu mereka juga tidak membunuh jiwa manusia yang diharamkan Allah membunuhnya kecuali dengan haq yakni sebab yang dibenarkanAllah. Misalnya dalam bentuk membela nyawa, qishash atau peperangan menegakkan kebenaran, dan tidak berzina. barang siapa yang melakukan dosa-dosa yang sangat jauh keburukannyaitu, niscaya dia menemukan balasan dosanya. Balasan yang diterimanya itu berupa dilipatgandakan untuknya siksa pada hari kiamat, dan dia akan kekal di dalamnya yakni dalam siksa itu dalam keadaan terhina.
Ayat di atas menggunakan kata berbentuk negasi yakni tidak menyembah, tidak membunuh dan tidak berzina, berbeda dengan ayat-ayat yang lalu. Ini agaknya menyindir kaum musyrikin yang melakukan pelanggaran-pelanggaran tersebut, di samping karena upaya seseorang untuk menghindari kejahatan-kejahatan itu pada hakikatnya telah merupakan amal saleh yang terpuji.
Kata ذلك (dzalika) itu, menunjuk kepada gabungan kata ketiga dosa yang tersebut di atas, yakni mempersekutukan Allah, membunuh tanpa haq dan berzina. Ini karena ayat di atas menegaskan bahwa adanya pelipatgandaan dan adanya kekekalan, yang tentu saja diakibatkan oleh syirik itu. Memang siapa yang melakukan syirik akan kekal dalam siksa, tetapi yang hanya melakukan salah satu dari ketiganya, akan memperoleh siksa yang pedihnya relative kurang dibandingkan dengan yang melakukan ketiganya/
Kata أثما (atsaman) terambil dari kata ( إثم ) itsm yang berarti dosa. Kata tersebut lebih menggambarkan keburukan dari pada kata itsm. Yang dimaksud di sini adalah balasan dosa dan pedihnya siksa, apalagi dengan penyebutan kata ( يلق ) yalqa yang berarti menemukan. Kata terakhir ini mengesankanadanya suatu yang telah menanti untuk membalas kejahatannya dan menyiksanya.[6]
c)      Tafsir surat Al-Isra’ : 32
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا


                    Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.

                        Karena factor lain yang mendorong mereka membunuh anak-anak perempuan mereka adalah kekhawatiran diperkosa atau berzina, maka lebih jauh ayat ini memerintahkan semua anggota masyarakat agar menghindari sebab-sebab yang dapat mengantar kea rah itu.
Al-Biqa’I menulis bahwa karena dalam pembunuhan anak terdapat unsur kekikiran, dan dalam perzinahan terdapat unsur pemborosan, maka ayat ini melanjutkan dengan larangan berzina. Di sisi lain dalam perzinahan terdapat pembunuhan akibat yang jelasnya siapa ayah sang anak, sebagaimana ia menjadi sebab adanya suatu batil sedang pembunuhan adalah menghilangkan sesuatu yang haq.
Sayyid Quthub menulis bahwa dalam perzinaan terdapat pembunuhan dalam beberapa segi. Pertama pada penempatan sebab kehidupan (sperma) bukan pada tempatnya yang sah. Ini biasa disusul keinginan untuk menggugurkan yakni membunuh janin dalam kanduungan,. Kalua ia dilahirkan dalam keadaan hidup, maka biasanya ia dibiarkan begitu saja tanpa ada yang memelihara dan mendidiknya, dan ini merupakan salah satu bentuk pembunuhan. Perzinahan juga merupakan pembunuhan terhadap masyarakat yang merajalela di tengah-tengahnya keburukan ini, karena di sini menjadi tidak jelas atau bercampur baurnya keturunan seseorang serta menajadi hilang kepercayaan menyangkut kehormatan dan anak, sehingga hubungan antar masyarakat yang akhirnya mengantar kepada kemarian ummat. Di sisi lain perzinahan juga membunuh masyarakat dari segi kemudahan melampiaskan nafsu sehingga kehidupan rumah tangga menjadi sangat rapuh bahkan tidak dibutuhkan lagi. Keluarga menjadi sangat rapuh padahal ia merupakan wadah yang terbaik untuk mendidik dan mempersiapkan generasi muda memikul tanggung jawabnya. Demikian lebih kurang tulis Sayyid Quthub, ketika menghubungkan ayat ini dengan ayat yang lalu dan mendatang.
Ayat ini menegaskan bahwa: dan janganlah kamu mendekati zina dengan melakukan hal-hal walau dalam bentuk menghayalkannya sehingga dapat mengantarkan kamu terjerumus dalam keburukan itu; sesungguhnya ia yakni zina itu adalah suatu perbuatan keji yang melampaui batas dalam ukuran apapun dan suatu jalan yang buruk dalam menyalurkan kebutuhan biologis.
Sementara ulama menggaris bawahi bahwa membunh anak karena takut miskin merupakan tanda prasangka buruk kepada Allah, sedang membunuhnya karena khawatir mereka berzina adalah upaya membinasakan keturunan. Yang pertama bertentangan dengan pengagungan Allah dan yang kedua merupakan pertanda ketiadaan kasih sayang.
Dalam pengamat sejumlah ulama al-Qur’an, ayat-ayat yang menggunakan kata “jangan mendekat” seperti ayat di atas, biasanya merupakan larangan mendekati sesuatu yang dapat merangsang jiwa/ nafsu untuk melakukannya. Dengan demikian, larangan mendekati mengandung makna larangan untuk tidak terjerumus dalam rayuan sesuatu yang berpotensi mengantar kepada langkah melakukannya. Hubungan seks seperti perzinahan, maupun ketika istri sedang haid, demikian pula perolehan harta secara batil, memiliki rangsangan yang sangat kuat, karena itu al-Qur’an melarang dengan mendekatinya. Memang, siapa yang berada di sekeliling satu jurang, ia dikhawatirkan akan terjerumus ke dalamnya. Adapun pelanggaran yang tidak memiliki rangsangan yang kuat, maka biasanya laangan langsung tertuju kepada perbuatan itu, bukan larangan mendekatinya.
Firmannya : (ساء سبيلا) sa’a sabilan/ jalan yang buruk, dipahami oleh sementara ulama dalam arti jalan yang buruk, karena ia mengantar kepada neraka. Ibnu ‘Asyur memahami kata (سبيلا) sabilan dalam arti perbuatan yang menjadikebiasaan seseorang. Thabathaba’i memahaminya dalam arti jalan untuk mempertahankan kehidupan. Ulama ini menghububungkan pemahamannya itu QS. Al-‘Ankabut [29]; 29 yang menyifati kebiasaan buruk kaum Nabi Luth as. Yakni melakukan homoseksual sebagai (تقطعون السبيل) taqhta’una as-sabil/ memutus jalan. Jalan yang mereka putusitu adalah jalan kelanjutan keturunan, karena kelakuan tersebut tidak menghasilkan keturunan, dan kelanjutan jenis manusia . berbeda dengan perzinahan, yang melakukannya memperoleh anak dan kelanjutan jenis pun dapat terlaksana tetapi dan cara jalan itu adalah dengan jalan yang sangat buruk.

           E.     Asbabun Nuzul
a)      Sababun Nuzul surat An-Nur : 2
Ayat ini merupakan jawaban dari Allah kepada seorang sahabat yang meminta izin kepada Nabi untuk menikahi pelacur terkenal pada masa itu yang bernama Ummu Mahzul, atau dalam riwayat lain disebut Anaq .
“Dari hadist yang berbunyi Abdullah bin Amr (bin Al Ash), “Ada seorang wanita bernama Ummu Mahzul. Ia adalah seorang pelacur di daerah Ajyad. Ia mensyaratkan bagi pria yang hendak menikahinya agar mau menerima nafkah dari wanita itu ( yakni dari hasilnya melacur). Pada saat itu ada seorang sahabat yang meminta izin kepada Rasulullah SAW menikahi wanita tersebut. Beliau lalu membaca, lalu turunlah ayat Azzaniyatu la yankihuhaa illa zaanin aw musyrik. 
b)      Sababun Nuzul Surat al-Furqan : 68
Ayat ini turun mengonfirmasi jawaban Rasulullah atas pertanyaan Abdullah bin Masud tentang dosa yang paling besar di sisi Allah. ‘Abdullah bin Mas’ud RA berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah SAW, “Dosa apakah yang paling besar disisi Allah ?” , beliau menjawab, (Dosa yang paling besar adalah) apabila engkau menyekutukan Allah, padahal Dialah yang menciptakanmu, ‘Aku bertanya lagi, “ Lalu apalagi ? “, “Apabila engkau membunuh anakmu hanya karena khawatir ia kelak makan bersamamu (yakni karena takut miskin) jawab beliau. ‘Lalu apalagi ?’ tanyaku untu ketiga kalinya.”Apabila engkau berzina dengan istri tetanggamu, “ jawab beliau. Ayat berikut ini lantas turun untuk membenarkan jawaban beliau,  walladzina la yad’uuna ma ‘a llahi ilaahan akhara wa laa yaktuluuna annafsallatii harramallahu illa bilhaqqi wa laa yaznuun. “[7]


          F.      Kategori Zina
            Bila ditinjau dari sudut pelaku zina maka dapat dikategorikan kepada tiga macam. Pertama, pelakunya adalahorang yang belum pernah kawin al-bikr (البكر) bagi mereka ini orang yang melakukan zina, tetapi mereka belum pernah kawin hukuman yang di kenakan kepada mereka sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam QS. An-Nur [24]: 2, yaitu didera (dicambuk) seratus kali.
Kedua, hukuman zina bagi pelaku yang sudah pernah kawin, al-muhshan (المحصن), baik yang masih dalam status ikatan perkawinan ataupun yang sudah bercerai, adalah dirajam sampai mati. Ini adalah pendapat yang umum dikalangan ulama. Di samping hukuman rajam sampai mati. Di samping hukuman rajam sampai mati, kepada mereka juga dikenakan hukuman tambahan, didera seratus kali. Hal ini sesuai pula dengan Hadis, ada juga ulama mengatakn bahwa hukum mati saja sudah cukup bagi mereka. Artinya tidak perlu lagi hukuman dera seratus kali, di samping hukuman rajam sampai mati.
Ketiga, di dalam hal pelaku zina tersebut berstatus hamba sahaya, ‘abid (عبيد), hukuman yang dikenakan bagi mereka adalah setengah hukuman yang dikenakan oleh al-bikr, bila mereka belum pernah kawin, dan setengah yang dikenakan kepada orang yang sudah kawin, al-muhshan (المحصن). Hukuman ini berlakukan merujuk kepada ketentuan hukum yang terdapat dalam QS. An-Nisa’ [4]: 25,
G.    Unsur-unsur Perbuatan Zina
a)      Persetububahn yang diharamkan.
Persetubuhan yang dianggap sebagai zina adalah persetubuhan dalam farji (kemaluan). Ukurannya adalah apabila kepala kemaluan (hasyafah) telah masuk ke dalam farji walaupun sedikit. Juga dianggap sebagai zina walaupun ada penghalang antara zakar (kemaluan laki-laki) dan farji (kemaluan perempuan), selama penghalangnya tipis yang tidak menghalangi perasaan dan kenikmatan bersenggema
b)      Adanya kesengajaan atau niat yang melawan hukum (syariat).
Unsur ini terpenuhi apabila pelaku melakukan suatu perbuatan (persetubuhan) padhal ia ahu bahwa wanita itu yang disetubuhinya adalah wanita yang diharamkan baginya. Dengan demikian, apabila seseorang melakukan perbuatan dengan sengaja tetapi ia tidak dikenakan huku had.
               H.    Alasan Diharamkannya Zina
Ada beberapa alasan diharamkannya zina, yaitu sebaagai berikut.
1.      Zina dipandang sebagai perbuatan yang dapat mencegah tercapainya salah satu tujuan disyariatkannya hukum Islam yakni terpelihara kesucian keturunan manusia.
2.      Zina dalam pandangan Islam dianggap sebagai salah satu dari tiga dosa besar, yakni setelah perbuatan syirik dan pembunuhan.
3.      Zina dalam pandangan Islam diangap sebagai potensi yang membuka peluang terjadinya jarimah (tindak pidana) dan berbagai daampak negative lainnya.
              I.        Jenis Zina
Zina terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
1.      Zina muhshan
Zina muhshan adalah zina yang dilakukan oleh seorang suami, istri, duda atau janda. Jadi zina muhshan ini dilakukan oleh orang yang masih terikat pernikahan atau pernah menikah sah. Zina muhshan hukumannya hadnya yaitu dirajam.
2.      Zina ghoiru muhshan
Zina ghoiru muhshan adalah zina yang pelakunya masih berstatus perjaka atau gadis. Artinya keduanya belum pernah menikah secara sah dan tidak sedang dalam ikatan perkawinan serta dalam melakukan perbuatan mesumnya ditandai suka sama suka. Zina gohiru muhshan hukuman hadnya yaitu dicambuk sebanyak 100 kali dan diasingkan.[8]

          J.       Pengertian Qadzaf dalam Perzinahan
Kemudian Yang berhubungan juga dengan zina, salah satunya ialah tentang Qadzaf, apa itu Qadzaf? Qadzaf dalam arti bahasa adalah    الر مي بالحجارة ونحوها      artinya melempar dengan batu dan lainnya.[9]
Di dalam al-Qur’an, kita akan menemukan dalil dasar hukum dilarangnya qadzaf, ayat tersebut antara lain:
a)       Surah An-Nuur ayat 4-5
(وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ)
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik”.( Q.S An-Nuur: 4)
Kata يَرْمُونَ  pada mulanya berarti melempar, tetapi yang dimaksud di sini adalah makna majazi, yakni menuduh. Konteks tuduhan pada ayat ini dipahami bahwa ia adalah tuduhan berzina. Memang, pada masa Jahiliah, sering kali tuduhan semacam ini dilontarkan bila mereka melihat hubungan akrab antara pria dan wanita. Mereka juga seringkali menuduh wanita berzina jika melihat anak yang dilahirkan lidak mirip dengan suami ibu yang melahirkannya. Kata الْمُحْصَنَاتِ terambil dari akar kata حصَنَ yang berani membetengi. Benteng, karena dia menghalangi musuh masuk atau melintasinya. Wanita yang dilukiskan dengan akar kata ini oleh al-Qu r'an dapat diartikan sebagai wanita yang terpelihara dan terhalangi dari kekejian karena dia adalah seorang suci bersih, bermoral tinggi, atau karena dia merdeka bukan budak, atau karena seorang istri yang mendapat perlindungan dari suarninya.[10]
Di dalam ayat ini diterangkan hukum dera bagi orang yang menuduh wanita yang baik-baik berbuat zina. Yang dimaksud dengan istilah muhsanah dalam ayat ini ialah wanita merdeka yang sudah baligh lagi memelihara kehormatan dirinya. Jika yang dituduh melakukan zina itu adalah seorang lelaki yang terpelihara kehormatan dirinya, maka begitu pula ketentuan hukumnya, yakni si penuduh dikenai hukuman dera. Tiada seorang pun dari kalangan ulama yang memperselisihkan masalah hukum ini. Jika si penuduh dapat membuktikan kebenaran dari persaksiannya, maka terhindarlah dirinya dari hukuman had (dan yang dikenai hukuman had adalah si tertuduhnya).[11]
Ada tiga macam sangsi hukuman yang ditimpakan kepada orang yang menuduh orang lain berbuat zina tanpa bukti yang membenarkan kesaksiannya, yaitu: a) dikenai hukuman dera sebanyak delapan puluh kali, b) kesaksiannya tidak dapat diterima buat selama-lamanya, c) dicap sebagai orang fasik[12].
Kemudian Allah Swt. menyebutkan dalam firman selanjutnya:
(إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَٰلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ)
kecuali orang-orang yang bertobat sesudah itu dan mem­perbaiki (dirinya). (An-Nur:5)
Para ulama berselisih pendapat tentang makna yang direvisi oleh pengecualian ini, apakah yang direvisinya itu adalah kalimat terakhirnya saja, sehingga pengertiannya ialah tobat yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan dapat menghapuskan predikat fasiknya saja, sedangkan kesaksiannya tetap ditolak untuk selama-lamanya, sekalipun ia telah bertobat. Ataukah yang direvisi oleh istisna adalah kalimat yang kedua dan yang ketiganya? Adapun mengenai hukuman dera bila telah dijalani yang bersangkutan, maka selesailah, baik ia bertobat ataupun tetap masih menjalankan perbuatannya itu, tidak ada masalah lagi sesudah itu, tanpa ada perselisihan di kalangan ulama mengenainya. [13]
·         Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Syafii berpendapat bahwa jika orang yang bersangkutan telah bertobat, maka kesaksiannya dapat diterima kembali dan terhapuslah predikat fasik dari dirinya. Hal ini telah di-nas-kan oleh penghulu para tabi'in, yaitu Sa'id ibnul Musayyab dan sejumlah ulama Salaf.
·         Imam Abu Hanifah mengatakan, sesungguhnya yang direvisi oleh istisna hanyalah jumlah yang terakhir saja. Karena itu, menurutnya terhapuslah predikat fasik bila yang bersangkutan bertobat (setelah menjalani hukuman had), sedangkan kesaksiannya tetap ditolak untuk selamanya. Orang yang berpendapat demikian dari kalangan ulama Salaf ialah Qadi Syuraih, Ibrahim An-Nakha'i, Sa'id ibnu Jubair, Mak-hul, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Jabir.
·         Asy-Sya'bi dan Ad-Dahhak mengatakan bahwa kesaksiannya tetap tidak dapat diterima, sekalipun telah bertobat, kecuali jika ia mengakui bahwa tuduhan yang dilancarkannya adalah bohong semata, maka barulah dapat diterima kesaksiannya (di masa mendatang). Hanya Allah-Iah Yang Maha Mengetahui.
b)       Surat An-Nur Ayat 23-26
إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (٢٣) يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (٢٤) يَوْمَئِذٍ يُوَفِّيهِمُ اللَّهُ دِينَهُمُ الْحَقَّ وَيَعْلَمُونَ أَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ الْمُبِينُ (٢٥)
Sungguh, orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan baik, yang lengah dan beriman (dengan tuduhan berzina), mereka dilaknat di dunia dan di akhirat, dan mereka akan mendapat azab yang besar. Pada hari, (ketika) lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Pada hari itu Allah menyempurnakan balasan yang sebenarnya bagi mereka, dan mereka tahu bahwa Allah Maha-benar, Maha Menjelaskan. ( Q.S An-Nuur: 23-25)
Pada Ayat ke-23 Allah menjelaskan bahwasanya orang-orang yang tuduh-menuduh perempuan-perempuan yang terbenteng jiwanya oleh budinya, jujur dan memandang dunia dengan kejujuran pula, dipatrikan oleh iman yang tulus kepada Allah. Orang-orang yang menuduh wanita demikian, akan mendapat kutuk dari Allah di dunia dan di akhirat, ditambah pula dengan siksa. Ayat ini adalah penjelasan berulang-ulang atas beratnya hukuman menuduh-nuduh itu.[14]
Ulama ahli takwil berbeda pendapat mengenai penetapan muhsanat pada ayat ini, sebagian ulama berpendapat bahwa hal ini hanyalah terkhusus untuk siti ‘Aisyah r.a.[15]
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Hirasy, dari Al-Awwam, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini: Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina). (An-Nur: 23 ) Bahwa ayat ini secara khusus diturunkan berkenaan dengan Siti Aisyah.[16]
Namun Barangkali pendapat tersebut yang mengatakan bahwa hal ini khusus bagi Siti Aisyah hanyalah menurut pendapat Ibnu Abbas dan lain-lainnya yang sependapat dengan dia. Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa makna ayat ini mengandung pengertian yang umum, dan pendapat inilah yang benar menurutnya.
Pendapat yang mengatakan bermakna umum diperkuat oleh hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Ia mengatakan:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ -ابْنُ أَخِي ابْنِ وَهْبٍ -حَدَّثَنَا عَمِّي، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانَ بْنِ بِلَالٍ، عَنْ ثَوْرِ بْنِ زَيْدٍ، عَنْ أَبِي الغَيث عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ". قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: "الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ".


telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdur Rahman (anak lelaki saudara Wahb), telah menceritakan kepadaku pamanku, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Bilal, dari Saur ibnu Zaid, dari Abul Gais, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: "Jauhilah tujuh macam dosa yang membinasakan.” Ketika ditanyakan, "Apa sajakah itu, wahai Rasulullah? Rasulullah Saw. bersabda, "Mempersekutukan Allah, melakukan sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh berzina wanita-wanita yang baik-baik, yang lalai lagi beriman."[17]
Yang dimaksud dengan laknat di dunia adalah kejauhan mereka dari rahmat Allah, antara lain tercermin dalam cambukan, serta antipati masyarakat muslim, di samping penolakan kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Tentu saja ini bagi yang tidak bertaubat sebagaimana diuraikan oleh ayat 5 yang lalu.
Pembicaraan lidah, tangan, dan lain-lain banyak ditegaskan oleh al-Qur'an. Namun,ulama berbeda pendapat tentang hakikatnya. Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah tampaknya bekas-bekas perbuatan dan dosa mereka pada anggota tubuh itu dan ada juga yang memahaminya dalam arti hakiki, yakni memang anggota tubuh berbicara sebagaimana lidah kita sekarang berbicara. Penyebutan anggota tubuh tertentu pada ayat di atas agaknya disebabkan organ-organ itulah yang berperan besar dalam penyebaran isu itu, yakni lidah dan mulut yang bercakap,tangan yang menunjuk, dan kaki yang berjalan ke kiri dan ke kanan menyebarkan isu itu ke mana-mana.[18]





BAB III
KESIMPULAN
·         Secara harfiah zina berarti al-fahisyah atau sesuatu yang keji. Secara terminologis menurut Madzhab Syafi’I, zina ialah memasukkan zakar ke dalam faraj yang di haramkan zatnya, bebas dari syubhat dan dengan bernafsu.
·         الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ 

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera

·      Menurut Bahtiar Surin. Perzinaan adalah sumber beberapa kejahatan, seperti merusak keturunan, hubungan kemasyarakatan dan sebagainya. Mendekati saja sudah haram apalagi kalau sampai mengerjakannya, na’udzubillah.
·         Unsur-unsur Perbuatan Zina:
a)      Persetububahn yang diharamkan.
b)      Adanya kesengajaan atau niat yang melawan hukum (syariat).
·      Jenis zina ada dua:
a)      Zina muhshan
b)      Zina ghoiru muhshan
·           Kemudian Yang berhubungan juga dengan zina, salah satunya ialah tentang Qadzaf, apa itu Qadzaf? Qadzaf dalam arti bahasa adalah    الر مي بالحجارة ونحوها      artinya melempar dengan batu dan lainnya.



DAFTAR PUSTAKA
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbah, (Tanggerang: PT. Lenteran Hati, 2016)
Katsir, Ibnu, Tafsir al-Qur’an al-’Adzim, (Kairo: Dar al-Hadist)
Muhammad, Abi Ja’far, Tafsir at-Thabari Jami’ al Bayan ‘An Ta’wil al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Hijaz, 2001),
Amrullah, Abdul Malik Abdul Karim (Buya Hamka), Tafsir al-Azhar, (Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, 1982),
Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005),
Mardani, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Prenada Media Group)
Hanafi, Muchlis M, Asbabun Nuzul (Kronologi dan Sebab Turun Wahyu Al-Qur an) (Jakarta:Kementerian Agama, 2015),
As-Shabuni, Muhammad Ali, Rawa’iul Bayan, (Mesir: Maktabah Asriyah), 2019, jilid II
Surin, Bahtiar, Adz Dzikra : terjemah dan tafsi qur’an, (Bandung) Angkasa, tahun 1997
Irfan, M. Nurul, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah) cet I, tahun 2016
Al-Husni, Fathu Rahman, (Indonesia) Maktabah Dahlan,




[1] Al-Husni, Fathu Rahman, (Indonesia) Maktabah Dahlan, hal 197
[2] M. Quraish Shihab, Ensiklopedia Al-qur’an: Kajian Kosakata, (Jakarta) lentera hati, 2007, hal 1135
[3] M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah) cet I, tahun 2016, hal 49
[4] Bahtiar Surin, Adz Dzikra : terjemah dan tafsi qur’an, (Bandung) Angkasa, tahun 1997, hal 1115
[5] Muhammad Ali As-Shabuni, Rawa’iul Bayan, (Mesir: Maktabah Asriyah), 2019, jilid II. Hal. 16
[6] M. Quraih Shihab, Tafsir Al-mishbah, (Jakarta, Ciputat) lentera hati, tahun 2002, hal 536
[7] Muchlis M Hanafi, Asbabun Nuzul (Kronologi dan Sebab Turun Wahyu Al-Qur an) (Jakarta:Kementerian Agama, 2015), hlm 344
[8] Dr. mardani, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Prenada Media Group) hal 121
[9] Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 60.
[10] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Tanggerang: PT. Lenteran Hati, 2016), hlm. 48.
[11] Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-’Adzim, (Kairo: Dar al-Hadist), hal. 14.
[12]  M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Tanggerang: PT. Lenteran Hati, 2016), hlm. 49.
[13]  Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-’Adzim, (Kairo: Dar al-Hadist), hal. 15.
[14] Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (Buya Hamka), Tafsir al-Azhar, (Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, 1982), hlm. 4913.
[15] Abi Ja’far Muhammad  bin Jarir at-Thabari, Tafsir at-Thabari Jami’ al Bayan ‘An Ta’wil al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Hijaz, 2001), hlm. 232.
[16] Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-’Adzim, (Kairo: Dar al-Hadist), hal. 35.
[17] Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-’Adzim, (Kairo: Dar al-Hadist), hal. 36.
[18] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Tanggerang: PT. Lenteran Hati, 2016), hlm. 510.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH ASBAB Al-NUZUL SURAT AL-BAQARAH AYAT 196, 197, DAN 198

MAKALAH ASBAB Al-NUZUL SURAT AL-BAQARAH AYAT 196, 197, DAN 198 Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Asbab al-Nuzul Dosen Pengampu: Dr. Zaenal Arifin Madzkur, MA Disusun Oleh: Ja’far Shodiq Majdi Hafizhur Rahman INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL–QUR’AN JAKARTA PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN 2019 BAB I PENDAHULUAN A.   Latar Belakang Ada banyak bingkai ilmu untuk memahami dan menafsirkan al-Qur’an. Dalam ulumul qur’an misalnya, ada sederet bab tentang bermacam-macam prinsip keilmuan dalam al-Qur’an. Salah satunya adalah Asbab al-Nuzul , Quraish Shihab dalam bukunya “Kaidah Tafsir” mengutip tentang definisi asbabun nuzul yang populer di kalangan ulama yaitu berbagai peristiwa yang terjadi semasa turunnya ayat al-Qur’an, baik peristiwa tersebut terjadi sebelum maupun sesudah turunnya ayat dan dimana peristiwa tersebut berkaitan atau dapat juga dikaitkan dengan peristiwa tersebut. [1...

MAKALAH TAFSIR AL-IBRIZ

MAKALAH TAFSIR AL-IBRIZ Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Perkembangan Tafsir di Indonesia Dosen pengampu: Ansor Bahary, MA. Disusun Oleh : Ja’far Shodiq Ahmad Mubarok Alyamamah INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL – QURAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN 2020 BAB I PENDAHULUAN Al-Qur’an merupakan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., dengan berbahasa Arab sebagai petunjuk bagi manusia, menjadi penjelas bagi segala sesuatu yang mengetahui dan yang bersedia   mendengarkan. [1] Sebagai firman Allah SWT., al-Qur’an adalah media yang dijadikan alat komunikasi   Allah SWT., dengan manusia. Perintah, larangan, kabar gembira, kabar buruk, petunjuk Allah SWT., hanya dapat diketahui oleh manusia melalui firman-Nya. Inilah yang menjadikan al-Qur’an sebagai petunjuk penting dalam agama Islam. Harus diingat, bahwa pemeluk agama Islam bukan hanya pada lokalitas tertentu yang mempunyai ...
Hai yogya? Bagaimana kabarmu? Iya, kamu.. Kamu tempat kelahiranku Kamu yang membesarkanku Kamu yang menjadi guruku Kamu yang selalu ku rindu Kamu yang selalu ku cinta Kamu yang selalu ku bangga Kamu yang selalu mengingatkanku, Bahwa sejauh kemanapun aku pergi, Kamulah tempatku kembali...