AL-QURAN
Dosen Pengampu : Ust.
Farid Afrizal, MA.
Disusun Oleh:
Fauzi Firdaus
Ja’far Shodiq
PERGURUAN
TINGGI ILMU AL QURAN JAKARTA
FAKULTAS USHULUDIN
2020
BAB I
PENDAHULUAN
Manusia diciptakan di muka bumi ini berpasang-pasangan terdiri dari
laki-laki dan perempuan. Allah menciptakan manusia berpasangan supaya melakukan
perkawinan diantara mereka, satu orang laki-laki dengan satu orang perempuan.
Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin
antara pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga,
rumah tangga yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Seperti pengertian
di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan awal dari pernikahan adalah
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling
membantu dan saling melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan
kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
Beberapa tahun terakhir pro-kontra poligami merebak kembali
di negeri ini terutama dipicu oleh praktik poligami sejumlah dai kondang di
Indonesia. Menarik, baik kelompok yang mendukung maupun yang menolak poligami,
samasama bersandar pada dalil normatif AlQur‟an dan sejarah keluarga Nabi
Muhammad Saw. Jika ulama yang satu mengutip suatu ayat untuk membolehkan
poligami secara mutlak, maka datanglah ulama lain juga membawa ayat yang sama
untuk menolak poligami. Tatkala satu tafsir yang menoleransi poligami
didatangkan, maka pada saat yang bersamaan dihadirkan pula tafsir lain yang
memustahilkan poligami. Ayat yang sering dikutip sebagai dalil kebolehan
poligami adalah Al-Qur‟- an surah alNisâ’ [4]: 3. Sedangkan ayat yang berkaitan
tentang poliandri terdapat dalam QS.
An-Nisa’ ayat 24
BAB II
PEMBAHASAN
A. Poligami
dan Poliandri
Secara etimologis, poligami berasal
dari bahasa Yunani poly atau polus yang berarti banyak dan gamein atau gamos
yang memiliki arti perkawinan.
Dalam bahasa Arab, istilah yang dipakai
untuk poligami adalah ta’addud azzaujat. Dari segi bahasa, poligami berarti
pernikahan yang banyak atau perkawinan yang lebih dari seorang.[1]
Masyarakat acap kali menggunakan istilah poligami ketika berbicara mengenai
suami yang beristri lebih dari seorang wanita. Pemakaian term ini memang tidak
salah seratus persen, namun juga tidak sepenuhnya tepat.
Sebagaimana disebutkan di atas, para
ahli membedakan poligami ke dalam dua peristilahan, poligini dan poliandri.
Poliandri (polus-andros) adalah seorang istri yang memiliki dua atau
lebih suami dalam waktu yang bersamaan. Jika suami-suami dari istri tersebut
ialah kakak-beradik, maka disebut poliandri lakilaki bersaudara (fraternal polyandry). Sedangkan
poligini (polud-gune) yaitu seorang
laki-laki yang memiliki dua atau lebih istri pada saat yang sama. Jika istri-istri
tersebut ialah kakak-adik, maka pernikahan itu dinamakan poligini wanita
bersaudara (sororal polygyny).
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, poligami
didefinisikan sebagai ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau
mengawini beberapa lawan jenis dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan
berpoligami berarti menjalankan atau melakukan poligami.[2]
Adapun kebalikan dari bentuk perkawinan ini adalah monogami, di mana suami
hanya mempunyai seorang istri.3
B. Ayat
Poligami dan Poliandri
Dalam Al-Qur’an, ayat yang kerap
dijadikan dalil hukum poligami adalah QS. An-Nisa’ ayat 3
وَإِنۡ خِفۡتمُۡ أ
الََّ تقُۡسِطُواْ فِي ٱلۡيَتَٰمََىَٰ فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لكَُم مِنَ ٱل نِسَاءِٓ مَثۡنَىَٰ وَثلََُٰثَ
وَرُبََٰعََۖ فَإنِۡ خِفۡتمُۡ أا لََّ تعَۡدِلُواْ فَوََٰ حِدَةً أوَۡ مَا
مَلَكَتۡ أيَۡمََٰنكُُمۡۡۚ ذََٰلِكَ أدَۡنىََٰٓ أ الََّ تعَُولوُاْ ٣
3. Dan jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanitawanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Firman Allah tersebut membolehkan poligami
sebagai jalan keluar dari kewajiban berbuat adil yang mungkin tidak terlaksana
terhadap anak-anak yatim. Dulu orang-orang Arab gemar menikah dengan anak
perempuan yatim yang diasuhnya dengan tujuan agar ia bisa ikut makan hartanya
dan tidak perlu membayar maskawin. Untuk menghindari kezaliman ini, seorang
lelaki diizinkan mengawini perempuan lain hingga dua sampai empat orang.[3]
Dalam konteks ini, jenis poligami yang dimaksud di dalam ayat Al-Qur’an
tersebut ialah poligini. Sedangkan poliandri sendiri dilarang oleh Islam. Meski
demikian, jika ayat ini saja yang digunakan sebagai acuan, pemahaman yang
diperoleh menjadi kurang utuh.
Sedangkan ayat yang berkaitan tentang
poliandri terdapat dalam QS.
An-Nisa’ ayat 24
۞وَٱلۡمُحۡصَنََٰتُ
مِنَ ٱل نِسَاءِٓ إ الَِّ مَا مَلكََتۡ أيَۡمََٰنكُُمَۡۖ كِتَٰبََ ٱ اللَِّ
عَلَيۡكُمۡۡۚ وَأحُِ ال لَكُم اما وَرَاءَٓ ذََٰلِكُمۡ أنَ تبَۡتغَوُاْ
بِأمَۡوََٰلِكُم مُّحۡصِنِينَ غَيۡرَ مُسََٰفِحِينَۡۚ فمََا ٱسۡتمَۡتعَۡتمُ بِهِۦ
مِنۡهُ ان فَٔ َٔاتوُهُ ان أ جُُورَهُ ان
فرَِيضَ ةۡۚ وَلََّ جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ فِيمَا ترَََٰضَيۡتمُ بِهِۦ مِنۢ بعَۡدِ
ٱلۡفَرِيضَةِۡۚ إِ ان ٱ اللََّ كَانَ عَلِيمًا حَكِي ما ٢٤
24. dan (diharamkan juga kamu
mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah
telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan
bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu
untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteriisteri yang telah kamu nikmati
(campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan
sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap
sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Adapun maksud ayat di atas adalah perintah untuk
laki-laki tidak boleh mengawini wanita-wanita yang memiliki suami (bersuami).
Menurut ayat diatas diantara perempuan-perempuan yang haram dinikahi secara
temporer dan juga haram untuk dipinang,[4]
yaitu istri-istri orang lain atau perempuan-perempuan yang sudah bersuami,
perempuan-perempuan ini termasuk golongan perempuan yang haram dinikahi karena
mereka berada dibawah tanggung jawab dan perlindungan orang lain. Oleh karena
itu, diharamkanlah mereka nikah dengan selain suami mereka dan tidak halal
untuk dinikahi orang lain.[5]
C. Sabab
Nuzul Ayat Poligami dan Poliandri
Frase ayat
diatas secara tekstual
terlihat menganjurkan laki-laki
untuk menikahi wanita, bahkan
hingga jumlah empat orang. Oleh sebagian pandangan dihukumi sunnah dengan
adanya fiil Amr disertai karinah. Inilah
yang kemudian menjadi sumber rujukan bahwa laki-laki boleh menikahi wanita yang
dia inginkan hingga empat orang (poligami). Pemahaman seperti ini merupakan
pemahaman yang sangat
terburu-buru.
Jika dilihat dari kronologi turunnya surah an-Nisa’ ayat 3 ini, dapat dikatakan bahwa poligami yang dibicarakan oleh ayat di atas adalah mengenai persoalan anak yatim perempuan yang dinikahi oleh pengasuhnya. Dan memang pada waktu itu, sudah merupakan kebiasaan laki-laki Hijaz menikahi perempuan-perempuan yatim demi untuk menguasai harta mereka. Setelah menikah, perempuan yatim tersebut tidak mendapatkan maskawin layaknya perempuan-perempuan lain, padahal maskawin merupakan hak istri yang harus diberikan oleh suami sebagai syarat sahnya sebuah pernikahan. Selain itu, perempuan-perempuan yatim ini mendapatkan perlakuan tidak baik dari suami mereka, dan juga tidak mendapatkan hak sebagai seorang istri.[6]
Jika dilihat dari kronologi turunnya surah an-Nisa’ ayat 3 ini, dapat dikatakan bahwa poligami yang dibicarakan oleh ayat di atas adalah mengenai persoalan anak yatim perempuan yang dinikahi oleh pengasuhnya. Dan memang pada waktu itu, sudah merupakan kebiasaan laki-laki Hijaz menikahi perempuan-perempuan yatim demi untuk menguasai harta mereka. Setelah menikah, perempuan yatim tersebut tidak mendapatkan maskawin layaknya perempuan-perempuan lain, padahal maskawin merupakan hak istri yang harus diberikan oleh suami sebagai syarat sahnya sebuah pernikahan. Selain itu, perempuan-perempuan yatim ini mendapatkan perlakuan tidak baik dari suami mereka, dan juga tidak mendapatkan hak sebagai seorang istri.[6]
Ath-Thabari menyatakan bahwa ayat 3 tersebut berkaitan
erat dengan nasib perempuan, khususnya anak yang yatim. Menurutnya, di antara
pendapat ulama yang mendekati kebenaran ialah pendapat yang mengatakan bahwa
ayat ini berhubungan dengan kekhawatiran akan ketidakmampuan wali dalam
bersikap adil kepada si anak yatim. Kekhawatiran ini berlaku pula pada cara
menyikapi wanita. Maka, ayat ini bisa dimaknai dengan, “Janganlah berpoligami,
kecuali jika kamu dapat berlaku adil pada wanita yang kamu nikahi.”[7]
Senada dengan itu, Al-Jasshas menuturkan bahwa surat An-Nisa’ ayat 3 juga
terkait dengan kondisi anak yatim yang dinikahi oleh walinya.[8]
Sementara itu sebab turunnya ayat 24 QS. An-Nisa ialah; Diriwayatkan oleh
Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan An-Nasai yang bersumber dari Abi Sa‟id
Al-Khudri: bahwa kaum Muslimin mendapat tawanan wanita yang mempunyai suami
dari peperangan Authas. Mereka tidak mau dicampuri oleh yang berhak terhadap
tawanan itu. Maka bertanyalah kaum Muslimin kepada Rasulullah Saw hingga
turunlah ayat tersebut di atas (An-Nisa ayat 24) sebagai penegasan hukumnya.[9]
D. Tafsir
Ayat Poligami Dan Poliandri 1. Poligami
Jumhur ulama yang berpandangan bahwa poligami dapat
diperbolehkan dalam batas maksimal 4 istri. Di samping merujuk pada kata rubâ’
dalam surah al-Nisâ’ di atas, juga berlandaskan hadis Nabi yang
menginstruksikan Ghaylân ibn Salamah al-Tsaqafî al-Dimasyqî untuk menceraikan 6
orang istrinya dan hanya mengambil 4 perempuan sebagai istrinya. Nabi juga
meminta Nawfal ibn Mu’âwîyah yang memiliki 5 orang istri untuk menceraikan satu
istrinya dan hanya mengambil empat istri saja. Qais ibn al-Hârits ketika baru
masuk Islam memiliki 8 istri. Dia juga diminta
Nabi untuk tetap dengan 4 istri dan
menceraikan yang lain.[10]
Di samping surah

al-Nisâ‟ ayat 3, tiga hadis itu juga
dijadikan dasar jumhur ulama untuk
membatasi jumlah maksimal istri menjadi empat.
Ibn ‘Asyûr menjelaskan sejumlah kemaslahatan poligami yang
dilakukan dengan keadilan. Pertama,
poligami membantu memperbanyak jumlah umat Islam. Kedua, karena jumlah perempuan lebih banyak dari lakilaki, maka
poligami bisa membantu perempuan-perempuan yang potensial tidak kebagian suami
bisa mempunyai suami. Kelangkaan laki-laki ini terjadi, menurut Ibn ‘Asyûr,
karena banyaknya laki-laki yang menjadi korban perang. Terlebih, demikian Ibn
‘Asyûr, usia perempuan ditakdirkan Allah lebih panjang dari usia lakilaki. Ketiga, karena Allah telah mengharamkan
zina begitu rupa, maka kebolehan berpoligami ini akan ikut mengerem laju
pertumbuhan perzinaan di masyarakat. Keempat, poligami dipandang Ibn ‘Asyûr
sebagai jembatan untuk meminimalkan terjadi perceraian.[11]
Menurut al-Maraghi, pernikahan monogami adalah pernikahan
paling ideal yang harus diterima umat manusia. Al-Maraghi menyatakan demikian:
“Kebahagiaan keluarga itu tercapai jika di dalam keluarga hanya ada satu istri
bagi satu suami. Itulah puncak kesempurnaan yang perlu diedukasikan ke
masyarakat dan yang perlu diterima oleh seluruh manusia. Namun, karena sejumlah
alasan terkait kehidupan suami istri, maka seseorang diperbolehkan untuk keluar
dari yang ideal tersebut.”[12]
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa al-Maraghi tetap
memandang pernikahan monogami sebagai pernikahan ideal yang akan mengantarkan
seluruh anggota keluarga pada kebahagiaan, sementara pernikahan poligami
dianggap sebagai kekecualian. Dengan perkataan lain, monogami adalah hukum
‘azîmah, sedangkan poligami sebagai rukhshah yang bisa dilakukan dalam kondisi
tertentu.
Bagi al-Maraghi, kondisi tertentu yang menyebabkan
ditoleransinya poligami adalah sebagai berikut. Pertama, jika seorang suami memiliki istri yang mandul padahal si
suami berharap akan memiliki anak. Dalam kondisi demikian, maka yang paling
maslahat bagi keduanya adalah poligami terlebih jika si suami adalah orang yang
memiliki kedudukan mulia seperti raja atau kepala negara. Kedua, jika istri sudah memasuki masa menopause sementara si suami
masih berkeinginan untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya. Sekiranya suami itu
mampu memberi nafkah kepada lebih dari satu istri dan mampu juga menanggung
biaya hidup banyak anak, maka si suami diperbolehkan untuk berpoligami. Ketiga, kemampuan seksual suami cukup

tinggi, sementara si istri kebalikannya.
Ditambah lagi masa menstruasi istrinya cukup lama. Dalam kondisi demikian,
menurut al-Marâghî, pilihan hanya ada dua, yaitu berpoligami atau berzina.
Tentu pilihan yang terbaik adalah menikah lagi. Keempat, meningkatnya jumlah
dan populasi perempuan bukanlah sesuatu yang baik bagi sebuah komunitas-masyarakat.
Ada potensi bagi terjadinya kemerosotan moral. Dalam konteks itu, poligami
harus dimungkinkan.[13]
2. Poliandri
Ahmad Mustafa al-Maraghi dalam Tafsir al-Maraghinya
menuturkan bahwa diharamkan atas kalian menikahi wanita bersuami kecuali budak-budak
yang kamu miliki sebagai tawanan perang sedangkan suami-suami mereka adalah
orang-orang kafir yang berada dalam Negara non muslim, dan kalian semua telah
melihat sebuah kemaslahatan jika tawanan-tawanan tersebut tidak dikembalikan pada suami mereka, maka
pada waktu itu halal bagi kalian untuk memperistri mereka dengan syarat-syarat
yang telah diketahui dalam kitab kitab fiqh.[14]
Al-Maraghi menambahkan, Hikmah dari keadaan ini adalah apa
yang terjadi dalam sebuah peperangan kebanyakan suami-suami mereka telah
terbunuh dan sebagian mereka juga lari menuju wilayah lain dan tidak kembali
pada Negara islam, maka wajib untuk menanggung kebutuhan para tawanan dengan
memberikan nafkah dan menghindarkan mereka dari kefasikan.[15]
Sementara itu, bagi kalangan ulama syiah, ayat ini menjadi
dasar kebolehannya nikah muth’ah. Sebagian ulama sunni menilai bahwa konteks
ayat tersebut adalah menjelaskan tentang pemenuhan mahar dalam nikah yang
lestari. Sedangkan syiah berpendapat yang di maksud dalam ayat tersebut adalah
nikah mut‟ah, menurut sunni mereka menggunakan dalil dengan qiro‟ah yang syadz
yang di riwaayatkan Ubay, Ibnu Mas‟ud dan Ibnu Abbas, dan beberapa khabar dan
atsar yang meriwayatkan tentang mut‟ah.[16]
Tha’bathaba’I mengomentari pernyataan ‟bahwa
diperbolehkannya nikah mut‟ah berdasarkan izin Nabi untuk kemaslahatan
darurat‟, Apakah darurah yang menyebabkan diperbolehkannya mut‟ah pada masa itu
dengan masa islam yang akan datang lebih besar, atau di masa Nabi dan separuh
yang pertama dari masa khulafa al
rasyidin? Dan tidak diragukan bahwa keadaan darurah
yang terjadi pada mereka untuk melakukan perzinaan serta keinginan untuk
menyalurkan syahwatnya sangat besar sedangkan mereka lemah untuk

memenuhi kebutuhan pokok sehari-harinya,
dan banyaknya kesibukan yang menghalangi untuk selalu berada di rumah dan
terhalangnya nikah lestari disebabkan sebuah pengasingan, kebutuhan bekerja atau belajar dan lain seebagainya.
Maka apa yang harus dilakukan dalam keadaan darurat seperti ini pada awal mula
islam, keadaan darurat semacam ini lebih
mudah di qiyaskan untuk melakukan nikah mut‟ah, akan tetapi mut‟ah tidak
ditegakkan kecuali pada masa itu,
sedangkan masa-masa yang lain jauh lebih
besar ujian maupun tantangannya?[17]
Kedua golongan Ulama Sunni dan Syi‟ah juga berargumen
dengan dalil aqli, mereka membolehkan dan melarang nikah mut‟ah dengan aspek
kemaslahatan. Sunni menilai bahwa nikah mut‟ah dapat merugikan pihak perempuan
yang seakan barang dagangan, dan juga nikah mut‟ah tidak sesuai dengan tujuan
pernikahan yang mana dalam pernikahan saling menjaga antara suami dan istri
bukan sekedar hubungan seks belaka. Sedangkan ulama syiah menilai bahwa
bolehnya nikah mut’ah karena dikhawatirkan terjerumus dalam zina, yang mana
sudah jelas keharamannya.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari paparan di atas, maka bisa disimpulkan bahwa ada beberapa
pandangan ulama. Pertama terkait
poligami. ulama yang menoleransi praktik
poligami dalam kondisi darurat. Darurat yang dimaksud, di antaranya, adalah:
istri mandul sehingga tidak bisa melahirkan keturunan, istri mengidap penyakit
permanen yang menyebabkan istri tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai
istri. Menurut
„Abduh dan Qâsim
Amîn, dua darurat itu bisa menjadi alasan suami untuk berpoligami. Sementara
al-Marâghî menambahkan daftar darurat tersebut, seperti libido suami tinggi
sementara libido istri rendah, istri menopause sementara suami masih “segar”,
jumlah perempuan lebih banyak dari jumlah laki-laki. Namun, ulama ini tidak
berpikir jika kondisi sebaliknya yang terjadi; suami mandul, suami mengidap
sakit permanen, suami mengalami andropause, jumlah laki-laki lebih banyak dari
jumlah perempuan. Kedua , para pemikir Islam yang hanya menoleransi poligami pada zaman
Nabi. Toleransi ini diberikan bukan karena kondisi saat itu adalah darurat
melainkan karena ketidakmungkinan AlQur’an untuk menghapuskan praktik poligami
secara sekaligus. Poligami telah menjadi tradisi di berbagai belahan dunia.
Yang paling strategis dilakukan Al Qur’an melalui Nabi bukan menghapus poligami
sampai tuntas melainkan membatasi jumlah poligami dengan syarat-syarat yang
sulit untuk dijalankan. Menurut kelompok ini, yang dituju dari syariat
pernikahan adalah monogami bukan poligami.
Hikmah pelarangan terhadap
perkawinan poliandri ialah untuk menjagakemurnian keturunan, jangan sampai
bercampur dan kepastian hukum seorang
anak. Karena anak sejak dilahirkan bahkan dalam keadaan-keadaan tertentu
walaupun masih dalam kandungan, telah berkedudukan sebagai pembawa hak. Dengan
demikian, dari segi hukum waris Islam, kepastian hak waris seorang anak,
ditentukan oleh kapastian hubungan darah atau hubungan hukum antara anak dengan
ayahnya. Dalam perkawinan poliandri, hubungan hukum antara anak dan ayahnya
mengalami kekaburan, tidak ada kepastian, disebabkan karena terdapat beberapa
orang laki-laki yang secara bersamaan menjadi suami si ibu yang melahirkan anak
tersebut.
Persoalan nikah mut’ah dan perbedaan pendapat tentang hukumnya
hanyalah persoalan tumpang tindih hadis saja. Belum lagi masalah hukumnya,
masalah waktu dan sejarah pembolehan dan pelarangan nikah mut’ah oleh nabi
saja, ulama masih berbeda pendapat. Sehingga sangat wajar bila kemudian terjadi
perbedaan yang luar biasa panjang tentang nikah mut’ah.
Daftar Pustaka
`Asyur, Ibn. Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Jilid II, Juz IV, Tunisia: Dar
Suhnun li alNasyr wa al-Tauzi’, 1997
Al-Jasshas, Ahkam Al-Qur’an, Beirut: Daar Al-Kitab
Al-Islamiyah, tt.
Al-Din al-Suyuthi, Jalal. Al-Dur al-Mantsûr fî al-Tafsîr al-Ma’tsûr,
Jilid II Beirut: Dar al-Fikr, 1993
Anggota IKAPI, Asbabun
Nuzul Latar Belakang historis turunnya ayat-ayat alQur’an Bandung: Co
Penerbit Diponogoro, 2009
Ash-shobuni, Ali. Perkawinan Islam, terj. Ahmad Nurrahim, (Solo: Mumtaza, 2008), hlm.
66. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi
Islam Jilid 4, Cet. 2, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994
Azhar Basyir,
Ahmad. Hukum Perkawinan Islam, Cet.
9, Yogyakarta: UII Press, 1999
Husein Thabathaba‟i, Muhammad. Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, jilid I,
Beirut: Mu‟assasah al-A‟la li Mathbuat, 1991
Jarir Ath-Thabari, Ibnu. Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an,
Jilid 6, Beirut: Daar AlFikr, 1958
Musthafâ al-Marâghî, Ahmad. Tafsîr al-Marâghî, Juz IV, V, VI
Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmîyah, 1998
Poerwadarminto, WJS. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1984Sayyid Tāntāwī, Muhammad.
Al-Tafsīr al-Wasīt Li al-Quran al-Karim, Vol. 3, (Kairo: Dar al-Sa’adah,
1983
Syibli Syarjaya, H.E.
Tafsir Ayat Ahkam, Jakarta: Rajawali
Pres, 2008
Suprapto, Bibit. Liku-Liku Poligami, Cet. 1, Yogyakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 1999.
[1] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 4, Cet. 2,
(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hlm. 107
[2] WJS Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1984), hlm. 693. 3 Bibit Suprapto, Liku-Liku Poligami, Cet.
1, (Yogyakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999), hlm. 71.
[3] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Cet. 9, (Yogyakarta: UII
Press, 1999), hlm. 38.
[4] H.E. Syibli Syarjaya, Tafsir
Ayat Ahkam (Jakarta: Rajawali Pres, 2008), hlm. 190-191.
[5] M. Ali Ash-shobuni, Perkawinan
Islam, terj. Ahmad Nurrahim, (Solo: Mumtaza, 2008), hlm. 66.
[6] Muhammad Sayyid Tāntāwī, Al-Tafsīr
al-Wasīt Li al-Quran al-Karim, Vol. 3, (Kairo: Dar
al-Sa’adah, 1983) hlm. 33.
[7] Ibnu Jarir Ath-Thabari, Jami’
Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, Jilid 6, (Beirut: Daar Al-Fikr, 1958), hlm.
155-157.
[8] Al-Jasshas, Ahkam Al-Qur’an,
(Beirut: Daar Al-Kitab Al-Islamiyah, tt.), hlm. 54.
[9] Anggota IKAPI, Asbabun Nuzul Latar Belakang historis turunnya
ayat-ayat al-Qur’an (Bandung: Co Penerbit Diponogoro, 2009), hlm. 13.
[10] Jalal al-Din al-Suyuthi, Al-Dur
al-Mantsûr fî al-Tafsîr al-Ma’tsûr, Jilid II (Beirut: Dar al-Fikr, 1993),
hlm. 429.
[11] Ibn `Asyur, Tafsîr al-Tahrîr wa
al-Tanwîr, Jilid II, Juz IV (Tunisia: Dar Suhnun li al-Nasyr wa al-Tauzi’,
1997), hlm. 227.
[12] Ahmad Musthafâ al-Marâghî,
Tafsîr al-Marâghî, Juz IV, V, VI (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmîyah, 1998),
hlm. 151.
[13] Ahmad Musthafâ al-Marâghî,
Tafsîr al-Marâghî, Juz IV, V, VI, hlm. 151.
[14] Ahmad Musthafâ al-Marâghî,
Tafsîr al-Marâghî, Juz IV, V, VI, hlm. 187.
[15] Ahmad Musthafâ al-Marâghî,
Tafsîr al-Marâghî, Juz IV, V, VI, hlm. 187.
[16] Muhammad Husein Thabathaba‟i, Al-Mizan
fi Tafsir al-Qur’an, jilid I, (Beirut: Mu‟assasah al-A‟la li Mathbuat,
1991), hlm.300.
[17] Muhammad Husein Thabathaba‟i, Al-Mizan
fi Tafsir al-Qur’an, jilid I, (Beirut: Mu‟assasah al-A‟la li Mathbuat,
1991), hlm.303.
Komentar
Posting Komentar