Langsung ke konten utama

MAKALAH TAFSIR MAUDHUI IJTIMAI POLIGAMI DAN POLIANDRI DALAM PRESFEKTIF AL-QURAN



MAKALAH TAFSIR MAUDHUI IJTIMAI
 POLIGAMI DAN POLIANDRI DALAM PRESFEKTIF

AL-QURAN

Dosen Pengampu :  Ust. Farid Afrizal, MA.


             

Disusun Oleh:
Fauzi Firdaus
Ja’far Shodiq
  
PERGURUAN TINGGI ILMU AL QURAN JAKARTA 
FAKULTAS USHULUDIN

2020


BAB I
PENDAHULUAN
  Manusia diciptakan di muka bumi ini berpasang-pasangan terdiri dari laki-laki dan perempuan. Allah menciptakan manusia berpasangan supaya melakukan perkawinan diantara mereka, satu orang laki-laki dengan satu orang perempuan.
 Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Seperti pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan awal dari pernikahan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan saling melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
Beberapa tahun terakhir pro-kontra poligami merebak kembali di negeri ini terutama dipicu oleh praktik poligami sejumlah dai kondang di Indonesia. Menarik, baik kelompok yang mendukung maupun yang menolak poligami, samasama bersandar pada dalil normatif AlQur‟an dan sejarah keluarga Nabi Muhammad Saw. Jika ulama yang satu mengutip suatu ayat untuk membolehkan poligami secara mutlak, maka datanglah ulama lain juga membawa ayat yang sama untuk menolak poligami. Tatkala satu tafsir yang menoleransi poligami didatangkan, maka pada saat yang bersamaan dihadirkan pula tafsir lain yang memustahilkan poligami. Ayat yang sering dikutip sebagai dalil kebolehan poligami adalah Al-Qur‟- an surah alNisâ’ [4]: 3. Sedangkan ayat yang berkaitan tentang poliandri terdapat dalam QS.
An-Nisa’ ayat 24


BAB II

PEMBAHASAN

A. Poligami dan Poliandri

Secara etimologis, poligami berasal dari bahasa Yunani poly atau polus yang berarti banyak dan gamein atau gamos yang memiliki arti perkawinan.
Dalam bahasa Arab, istilah yang dipakai untuk poligami adalah ta’addud azzaujat. Dari segi bahasa, poligami berarti pernikahan yang banyak atau perkawinan yang lebih dari seorang.[1] Masyarakat acap kali menggunakan istilah poligami ketika berbicara mengenai suami yang beristri lebih dari seorang wanita. Pemakaian term ini memang tidak salah seratus persen, namun juga tidak sepenuhnya tepat.
Sebagaimana disebutkan di atas, para ahli membedakan poligami ke dalam dua peristilahan, poligini dan poliandri. Poliandri (polus-andros)  adalah seorang istri yang memiliki dua atau lebih suami dalam waktu yang bersamaan. Jika suami-suami dari istri tersebut ialah kakak-beradik, maka disebut poliandri lakilaki bersaudara (fraternal polyandry). Sedangkan poligini (polud-gune) yaitu seorang laki-laki yang memiliki dua atau lebih istri pada saat yang sama. Jika istri-istri tersebut ialah kakak-adik, maka pernikahan itu dinamakan poligini wanita bersaudara (sororal polygyny).
 Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, poligami didefinisikan sebagai ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenis dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan berpoligami berarti menjalankan atau melakukan poligami.[2] Adapun kebalikan dari bentuk perkawinan ini adalah monogami, di mana suami hanya mempunyai seorang istri.3

B. Ayat Poligami dan Poliandri

Dalam Al-Qur’an, ayat yang kerap dijadikan dalil hukum poligami adalah QS. An-Nisa’ ayat 3

وَإِنۡ خِفۡتمُۡ أ الََّ تقُۡسِطُواْ فِي ٱلۡيَتَٰمََىَٰ فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لكَُم  مِنَ ٱل نِسَاءِٓ مَثۡنَىَٰ وَثلََُٰثَ وَرُبََٰعََۖ فَإنِۡ خِفۡتمُۡ أا لََّ تعَۡدِلُواْ فَوََٰ حِدَةً أوَۡ مَا مَلَكَتۡ أيَۡمََٰنكُُمۡۡۚ ذََٰلِكَ أدَۡنىََٰٓ أ الََّ تعَُولوُاْ  ٣

3.  Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanitawanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

 
 Firman Allah tersebut membolehkan poligami sebagai jalan keluar dari kewajiban berbuat adil yang mungkin tidak terlaksana terhadap anak-anak yatim. Dulu orang-orang Arab gemar menikah dengan anak perempuan yatim yang diasuhnya dengan tujuan agar ia bisa ikut makan hartanya dan tidak perlu membayar maskawin. Untuk menghindari kezaliman ini, seorang lelaki diizinkan mengawini perempuan lain hingga dua sampai empat orang.[3] Dalam konteks ini, jenis poligami yang dimaksud di dalam ayat Al-Qur’an tersebut ialah poligini. Sedangkan poliandri sendiri dilarang oleh Islam. Meski demikian, jika ayat ini saja yang digunakan sebagai acuan, pemahaman yang diperoleh menjadi kurang utuh. 
Sedangkan ayat yang berkaitan tentang poliandri terdapat dalam QS.
An-Nisa’ ayat 24

۞وَٱلۡمُحۡصَنََٰتُ مِنَ ٱل نِسَاءِٓ إ الَِّ مَا مَلكََتۡ أيَۡمََٰنكُُمَۡۖ كِتَٰبََ ٱ اللَِّ عَلَيۡكُمۡۡۚ وَأحُِ ال لَكُم اما وَرَاءَٓ ذََٰلِكُمۡ أنَ تبَۡتغَوُاْ بِأمَۡوََٰلِكُم مُّحۡصِنِينَ غَيۡرَ مُسََٰفِحِينَۡۚ فمََا ٱسۡتمَۡتعَۡتمُ بِهِۦ مِنۡهُ ان فَٔ  َٔاتوُهُ ان أ جُُورَهُ ان فرَِيضَ ةۡۚ وَلََّ جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ فِيمَا ترَََٰضَيۡتمُ بِهِۦ مِنۢ بعَۡدِ ٱلۡفَرِيضَةِۡۚ إِ ان ٱ اللََّ كَانَ عَلِيمًا حَكِي ما  ٢٤
24.  dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteriisteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Adapun maksud ayat di atas adalah perintah untuk laki-laki tidak boleh mengawini wanita-wanita yang memiliki suami (bersuami). Menurut ayat diatas diantara perempuan-perempuan yang haram dinikahi secara temporer dan juga haram untuk dipinang,[4] yaitu istri-istri orang lain atau perempuan-perempuan yang sudah bersuami, perempuan-perempuan ini termasuk golongan perempuan yang haram dinikahi karena mereka berada dibawah tanggung jawab dan perlindungan orang lain. Oleh karena itu, diharamkanlah mereka nikah dengan selain suami mereka dan tidak halal untuk dinikahi orang lain.[5]


C. Sabab Nuzul Ayat Poligami dan Poliandri


Frase  ayat diatas  secara  tekstual  terlihat  menganjurkan  laki-laki  untuk  menikahi wanita, bahkan hingga jumlah empat orang. Oleh sebagian pandangan dihukumi sunnah dengan adanya fiil Amr disertai karinah.  Inilah yang kemudian menjadi sumber rujukan bahwa laki-laki boleh menikahi wanita yang dia inginkan hingga empat orang (poligami). Pemahaman seperti  ini merupakan  pemahaman yang sangat  terburu-buru. 

Jika dilihat dari kronologi turunnya surah an-Nisa’ ayat 3 ini, dapat dikatakan bahwa poligami yang dibicarakan oleh ayat di atas adalah mengenai persoalan anak yatim perempuan yang dinikahi oleh pengasuhnya. Dan memang pada waktu itu, sudah merupakan kebiasaan laki-laki Hijaz menikahi perempuan-perempuan yatim demi untuk menguasai harta mereka. Setelah menikah, perempuan yatim tersebut tidak mendapatkan maskawin layaknya perempuan-perempuan lain, padahal maskawin merupakan hak istri yang harus diberikan oleh suami sebagai syarat sahnya sebuah pernikahan. Selain itu, perempuan-perempuan yatim ini mendapatkan perlakuan tidak baik dari suami mereka, dan juga tidak mendapatkan hak sebagai seorang istri.[6]


Ath-Thabari menyatakan bahwa ayat 3 tersebut berkaitan erat dengan nasib perempuan, khususnya anak yang yatim. Menurutnya, di antara pendapat ulama yang mendekati kebenaran ialah pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini berhubungan dengan kekhawatiran akan ketidakmampuan wali dalam bersikap adil kepada si anak yatim. Kekhawatiran ini berlaku pula pada cara menyikapi wanita. Maka, ayat ini bisa dimaknai dengan, “Janganlah berpoligami, kecuali jika kamu dapat berlaku adil pada wanita yang kamu nikahi.”[7] Senada dengan itu, Al-Jasshas menuturkan bahwa surat An-Nisa’ ayat 3 juga terkait dengan kondisi anak yatim yang dinikahi oleh walinya.[8]
Sementara itu sebab turunnya  ayat 24 QS. An-Nisa ialah; Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan An-Nasai yang bersumber dari Abi Sa‟id Al-Khudri: bahwa kaum Muslimin mendapat tawanan wanita yang mempunyai suami dari peperangan Authas. Mereka tidak mau dicampuri oleh yang berhak terhadap tawanan itu. Maka bertanyalah kaum Muslimin kepada Rasulullah Saw hingga turunlah ayat tersebut di atas (An-Nisa ayat 24) sebagai penegasan hukumnya.[9]

D. Tafsir Ayat Poligami Dan Poliandri 1. Poligami

Jumhur ulama yang berpandangan bahwa poligami dapat diperbolehkan dalam batas maksimal 4 istri. Di samping merujuk pada kata rubâ’ dalam surah al-Nisâ’ di atas, juga berlandaskan hadis Nabi yang menginstruksikan Ghaylân ibn Salamah al-Tsaqafî al-Dimasyqî untuk menceraikan 6 orang istrinya dan hanya mengambil 4 perempuan sebagai istrinya. Nabi juga meminta Nawfal ibn Mu’âwîyah yang memiliki 5 orang istri untuk menceraikan satu istrinya dan hanya mengambil empat istri saja. Qais ibn al-Hârits ketika baru masuk Islam memiliki 8 istri. Dia juga diminta
Nabi untuk tetap dengan 4 istri dan menceraikan yang lain.[10] Di samping surah
 
al-Nisâ‟ ayat 3, tiga hadis itu juga dijadikan dasar jumhur ulama untuk  membatasi jumlah maksimal istri menjadi empat.
Ibn ‘Asyûr menjelaskan sejumlah kemaslahatan poligami yang dilakukan dengan keadilan. Pertama, poligami membantu memperbanyak jumlah umat Islam. Kedua, karena jumlah perempuan lebih banyak dari lakilaki, maka poligami bisa membantu perempuan-perempuan yang potensial tidak kebagian suami bisa mempunyai suami. Kelangkaan laki-laki ini terjadi, menurut Ibn ‘Asyûr, karena banyaknya laki-laki yang menjadi korban perang. Terlebih, demikian Ibn ‘Asyûr, usia perempuan ditakdirkan Allah lebih panjang dari usia lakilaki. Ketiga, karena Allah telah mengharamkan zina begitu rupa, maka kebolehan berpoligami ini akan ikut mengerem laju pertumbuhan perzinaan di masyarakat.  Keempat, poligami dipandang Ibn ‘Asyûr sebagai jembatan untuk meminimalkan terjadi perceraian.[11]
Menurut al-Maraghi, pernikahan monogami adalah pernikahan paling ideal yang harus diterima umat manusia. Al-Maraghi menyatakan demikian: “Kebahagiaan keluarga itu tercapai jika di dalam keluarga hanya ada satu istri bagi satu suami. Itulah puncak kesempurnaan yang perlu diedukasikan ke masyarakat dan yang perlu diterima oleh seluruh manusia. Namun, karena sejumlah alasan terkait kehidupan suami istri, maka seseorang diperbolehkan untuk keluar dari yang ideal tersebut.”[12]
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa al-Maraghi tetap memandang pernikahan monogami sebagai pernikahan ideal yang akan mengantarkan seluruh anggota keluarga pada kebahagiaan, sementara pernikahan poligami dianggap sebagai kekecualian. Dengan perkataan lain, monogami adalah hukum ‘azîmah, sedangkan poligami sebagai rukhshah yang bisa dilakukan dalam kondisi tertentu. 
Bagi al-Maraghi, kondisi tertentu yang menyebabkan ditoleransinya poligami adalah sebagai berikut. Pertama, jika seorang suami memiliki istri yang mandul padahal si suami berharap akan memiliki anak. Dalam kondisi demikian, maka yang paling maslahat bagi keduanya adalah poligami terlebih jika si suami adalah orang yang memiliki kedudukan mulia seperti raja atau kepala negara. Kedua, jika istri sudah memasuki masa menopause sementara si suami masih berkeinginan untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya. Sekiranya suami itu mampu memberi nafkah kepada lebih dari satu istri dan mampu juga menanggung biaya hidup banyak anak, maka si suami diperbolehkan untuk berpoligami. Ketiga, kemampuan seksual suami cukup
 
tinggi, sementara si istri kebalikannya. Ditambah lagi masa menstruasi istrinya cukup lama. Dalam kondisi demikian, menurut al-Marâghî, pilihan hanya ada dua, yaitu berpoligami atau berzina. Tentu pilihan yang terbaik adalah menikah lagi. Keempat, meningkatnya jumlah dan populasi perempuan bukanlah sesuatu yang baik bagi sebuah komunitas-masyarakat. Ada potensi bagi terjadinya kemerosotan moral. Dalam konteks itu, poligami harus dimungkinkan.[13]

2. Poliandri 

Ahmad Mustafa al-Maraghi dalam Tafsir al-Maraghinya menuturkan bahwa diharamkan atas kalian menikahi wanita bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki sebagai tawanan perang sedangkan suami-suami mereka adalah orang-orang kafir yang berada dalam Negara non muslim, dan kalian semua telah melihat sebuah kemaslahatan jika tawanan-tawanan tersebut tidak dikembalikan pada suami mereka, maka pada waktu itu halal bagi kalian untuk memperistri mereka dengan syarat-syarat yang telah diketahui dalam kitab kitab fiqh.[14]
Al-Maraghi menambahkan, Hikmah dari keadaan ini adalah apa yang terjadi dalam sebuah peperangan kebanyakan suami-suami mereka telah terbunuh dan sebagian mereka juga lari menuju wilayah lain dan tidak kembali pada Negara islam, maka wajib untuk menanggung kebutuhan para tawanan dengan memberikan nafkah dan menghindarkan mereka dari kefasikan.[15]
Sementara itu, bagi kalangan ulama syiah, ayat ini menjadi dasar kebolehannya nikah muth’ah. Sebagian ulama sunni menilai bahwa konteks ayat tersebut adalah menjelaskan tentang pemenuhan mahar dalam nikah yang lestari. Sedangkan syiah berpendapat yang di maksud dalam ayat tersebut adalah nikah mut‟ah, menurut sunni mereka menggunakan dalil dengan qiro‟ah yang syadz yang di riwaayatkan Ubay, Ibnu Mas‟ud dan Ibnu Abbas, dan beberapa khabar dan atsar yang meriwayatkan tentang mut‟ah.[16]
Tha’bathaba’I mengomentari pernyataan ‟bahwa diperbolehkannya nikah mut‟ah berdasarkan izin Nabi untuk kemaslahatan darurat‟, Apakah darurah yang menyebabkan diperbolehkannya mut‟ah pada masa itu dengan masa islam yang akan datang lebih besar, atau di masa Nabi dan separuh yang pertama  dari masa khulafa al rasyidin? Dan tidak diragukan bahwa keadaan darurah yang terjadi pada mereka untuk melakukan perzinaan serta keinginan untuk menyalurkan syahwatnya sangat besar sedangkan mereka lemah untuk
 
memenuhi kebutuhan pokok sehari-harinya, dan banyaknya kesibukan yang menghalangi untuk selalu berada di rumah dan terhalangnya nikah lestari disebabkan sebuah pengasingan, kebutuhan  bekerja atau belajar dan lain seebagainya. Maka apa yang harus dilakukan dalam keadaan darurat seperti ini pada awal mula islam, keadaan darurat semacam  ini lebih mudah di qiyaskan untuk melakukan nikah mut‟ah, akan tetapi mut‟ah tidak ditegakkan  kecuali pada masa itu, sedangkan masa-masa yang lain  jauh lebih besar  ujian maupun  tantangannya?[17]
Kedua golongan Ulama Sunni dan Syi‟ah juga berargumen dengan dalil aqli, mereka membolehkan dan melarang nikah mut‟ah dengan aspek kemaslahatan. Sunni menilai bahwa nikah mut‟ah dapat merugikan pihak perempuan yang seakan barang dagangan, dan juga nikah mut‟ah tidak sesuai dengan tujuan pernikahan yang mana dalam pernikahan saling menjaga antara suami dan istri bukan sekedar hubungan seks belaka. Sedangkan ulama syiah menilai bahwa bolehnya nikah mut’ah karena dikhawatirkan terjerumus dalam zina, yang mana sudah jelas keharamannya.
 

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Dari paparan di atas, maka bisa disimpulkan bahwa ada beberapa pandangan ulama. Pertama terkait poligami. ulama yang menoleransi praktik poligami dalam kondisi darurat. Darurat yang dimaksud, di antaranya, adalah: istri mandul sehingga tidak bisa melahirkan keturunan, istri mengidap penyakit permanen yang menyebabkan istri tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai istri. Menurut
„Abduh dan Qâsim Amîn, dua darurat itu bisa menjadi alasan suami untuk berpoligami. Sementara al-Marâghî menambahkan daftar darurat tersebut, seperti libido suami tinggi sementara libido istri rendah, istri menopause sementara suami masih “segar”, jumlah perempuan lebih banyak dari jumlah laki-laki. Namun, ulama ini tidak berpikir jika kondisi sebaliknya yang terjadi; suami mandul, suami mengidap sakit permanen, suami mengalami andropause, jumlah laki-laki lebih banyak dari jumlah perempuan.   Kedua , para pemikir Islam yang hanya menoleransi poligami pada zaman Nabi. Toleransi ini diberikan bukan karena kondisi saat itu adalah darurat melainkan karena ketidakmungkinan AlQur’an untuk menghapuskan praktik poligami secara sekaligus. Poligami telah menjadi tradisi di berbagai belahan dunia. Yang paling strategis dilakukan Al Qur’an melalui Nabi bukan menghapus poligami sampai tuntas melainkan membatasi jumlah poligami dengan syarat-syarat yang sulit untuk dijalankan. Menurut kelompok ini, yang dituju dari syariat pernikahan adalah monogami bukan poligami. 
Hikmah pelarangan terhadap perkawinan poliandri ialah untuk menjagakemurnian keturunan, jangan sampai bercampur  dan kepastian hukum seorang anak. Karena anak sejak dilahirkan bahkan dalam keadaan-keadaan tertentu walaupun masih dalam kandungan, telah berkedudukan sebagai pembawa hak. Dengan demikian, dari segi hukum waris Islam, kepastian hak waris seorang anak, ditentukan oleh kapastian hubungan darah atau hubungan hukum antara anak dengan ayahnya. Dalam perkawinan poliandri, hubungan hukum antara anak dan ayahnya mengalami kekaburan, tidak ada kepastian, disebabkan karena terdapat beberapa orang laki-laki yang secara bersamaan menjadi suami si ibu yang melahirkan anak tersebut.
Persoalan nikah mut’ah dan perbedaan pendapat tentang hukumnya hanyalah persoalan tumpang tindih hadis saja. Belum lagi masalah hukumnya, masalah waktu dan sejarah pembolehan dan pelarangan nikah mut’ah oleh nabi saja, ulama masih berbeda pendapat. Sehingga sangat wajar bila kemudian terjadi perbedaan yang luar biasa panjang tentang nikah mut’ah.


Daftar Pustaka
`Asyur, Ibn. Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Jilid II, Juz IV, Tunisia: Dar Suhnun li alNasyr wa al-Tauzi’, 1997
Al-Jasshas, Ahkam Al-Qur’an, Beirut: Daar Al-Kitab Al-Islamiyah, tt.
Al-Din al-Suyuthi, Jalal. Al-Dur al-Mantsûr fî al-Tafsîr al-Ma’tsûr, Jilid II Beirut: Dar al-Fikr, 1993
Anggota IKAPI, Asbabun Nuzul Latar Belakang historis turunnya ayat-ayat alQur’an Bandung: Co Penerbit Diponogoro, 2009
Ash-shobuni, Ali. Perkawinan Islam, terj. Ahmad Nurrahim, (Solo: Mumtaza, 2008), hlm. 66.  Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 4, Cet. 2, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994
Azhar Basyir, Ahmad. Hukum Perkawinan Islam, Cet. 9, Yogyakarta: UII Press, 1999
Husein Thabathaba‟i, Muhammad. Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, jilid I, Beirut: Mu‟assasah al-A‟la li Mathbuat, 1991
Jarir Ath-Thabari, Ibnu. Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, Jilid 6, Beirut: Daar AlFikr, 1958
Musthafâ al-Marâghî, Ahmad. Tafsîr al-Marâghî, Juz IV, V, VI Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmîyah, 1998
Poerwadarminto, WJS. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1984Sayyid Tāntāwī, Muhammad. Al-Tafsīr al-Wasīt Li al-Quran al-Karim, Vol. 3, (Kairo: Dar al-Sa’adah, 1983
Syibli Syarjaya, H.E. Tafsir Ayat Ahkam, Jakarta: Rajawali Pres, 2008

Suprapto, Bibit. Liku-Liku Poligami, Cet. 1, Yogyakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999.





[1] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 4, Cet. 2, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hlm. 107
[2] WJS Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm. 693. 3 Bibit Suprapto, Liku-Liku Poligami, Cet. 1, (Yogyakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999), hlm. 71.
[3] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Cet. 9, (Yogyakarta: UII Press, 1999), hlm. 38.
[4] H.E. Syibli Syarjaya, Tafsir Ayat Ahkam (Jakarta: Rajawali Pres, 2008), hlm. 190-191.
[5] M. Ali Ash-shobuni, Perkawinan Islam, terj. Ahmad Nurrahim, (Solo: Mumtaza, 2008), hlm. 66.
[6] Muhammad Sayyid Tāntāwī, Al-Tafsīr al-Wasīt Li al-Quran al-Karim, Vol. 3, (Kairo: Dar al-Sa’adah, 1983) hlm. 33.
[7] Ibnu Jarir Ath-Thabari, Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, Jilid 6, (Beirut: Daar Al-Fikr, 1958), hlm.
155-157.
[8] Al-Jasshas, Ahkam Al-Qur’an, (Beirut: Daar Al-Kitab Al-Islamiyah, tt.), hlm. 54.
[9] Anggota IKAPI, Asbabun Nuzul Latar Belakang historis turunnya ayat-ayat al-Qur’an (Bandung: Co Penerbit Diponogoro, 2009), hlm. 13.
[10] Jalal al-Din al-Suyuthi, Al-Dur al-Mantsûr fî al-Tafsîr al-Ma’tsûr, Jilid II (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), hlm. 429.
[11] Ibn `Asyur, Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Jilid II, Juz IV (Tunisia: Dar Suhnun li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1997), hlm. 227.
[12] Ahmad Musthafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Juz IV, V, VI (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmîyah, 1998), hlm. 151.
[13] Ahmad Musthafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Juz IV, V, VI, hlm. 151.
[14] Ahmad Musthafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Juz IV, V, VI, hlm. 187.
[15] Ahmad Musthafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Juz IV, V, VI, hlm. 187.
[16] Muhammad Husein Thabathaba‟i, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, jilid I, (Beirut: Mu‟assasah al-A‟la li Mathbuat, 1991), hlm.300.
[17] Muhammad Husein Thabathaba‟i, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, jilid I, (Beirut: Mu‟assasah al-A‟la li Mathbuat, 1991), hlm.303.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH ASBAB Al-NUZUL SURAT AL-BAQARAH AYAT 196, 197, DAN 198

MAKALAH ASBAB Al-NUZUL SURAT AL-BAQARAH AYAT 196, 197, DAN 198 Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Asbab al-Nuzul Dosen Pengampu: Dr. Zaenal Arifin Madzkur, MA Disusun Oleh: Ja’far Shodiq Majdi Hafizhur Rahman INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL–QUR’AN JAKARTA PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN 2019 BAB I PENDAHULUAN A.   Latar Belakang Ada banyak bingkai ilmu untuk memahami dan menafsirkan al-Qur’an. Dalam ulumul qur’an misalnya, ada sederet bab tentang bermacam-macam prinsip keilmuan dalam al-Qur’an. Salah satunya adalah Asbab al-Nuzul , Quraish Shihab dalam bukunya “Kaidah Tafsir” mengutip tentang definisi asbabun nuzul yang populer di kalangan ulama yaitu berbagai peristiwa yang terjadi semasa turunnya ayat al-Qur’an, baik peristiwa tersebut terjadi sebelum maupun sesudah turunnya ayat dan dimana peristiwa tersebut berkaitan atau dapat juga dikaitkan dengan peristiwa tersebut. [1...

MAKALAH TAFSIR AL-IBRIZ

MAKALAH TAFSIR AL-IBRIZ Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Perkembangan Tafsir di Indonesia Dosen pengampu: Ansor Bahary, MA. Disusun Oleh : Ja’far Shodiq Ahmad Mubarok Alyamamah INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL – QURAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN 2020 BAB I PENDAHULUAN Al-Qur’an merupakan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., dengan berbahasa Arab sebagai petunjuk bagi manusia, menjadi penjelas bagi segala sesuatu yang mengetahui dan yang bersedia   mendengarkan. [1] Sebagai firman Allah SWT., al-Qur’an adalah media yang dijadikan alat komunikasi   Allah SWT., dengan manusia. Perintah, larangan, kabar gembira, kabar buruk, petunjuk Allah SWT., hanya dapat diketahui oleh manusia melalui firman-Nya. Inilah yang menjadikan al-Qur’an sebagai petunjuk penting dalam agama Islam. Harus diingat, bahwa pemeluk agama Islam bukan hanya pada lokalitas tertentu yang mempunyai ...
Hai yogya? Bagaimana kabarmu? Iya, kamu.. Kamu tempat kelahiranku Kamu yang membesarkanku Kamu yang menjadi guruku Kamu yang selalu ku rindu Kamu yang selalu ku cinta Kamu yang selalu ku bangga Kamu yang selalu mengingatkanku, Bahwa sejauh kemanapun aku pergi, Kamulah tempatku kembali...